Masyarakat Melayu sebagai suatu suku bangsa yang ada di Indonesia umumnya dan secara khusus yang ada di Sumatera Utara dahulu sudah mampu membentuk, mengembangkan adat tradisi, dan kebiasaan – kebiasaan yang menjadi kebutuhannya. Salah satunya adalah kebutuhan papan (tempat tinggal), yang secara adat serta tradisi mereka ciptakan dalam bentuk arsitektur, yang lebih sering disebut istilahnya “Rumah Panggung†atau lazim juga disebut rumah tiang tinggi. Bentuk rumah panggung ini dalam tradisi adat Melayu banyak di jumpai atau berdiri di daerah pesisir dataran sungai, sebab menurut kebiasaan zaman dahulu setiap mendirikan rumah lokasi ini sangat ideal. Namun dengan perkembangan kebudayaan hal ini telah terjadi pergeseran arti, daerah sungai tidak menjadi prioritas lagi. Rumah panggung zaman dahulu dibuat dengan cara gotong royong secara kekeluargaan, melibatkan pengetua adat, dukun, dan elemen masyarakat lainnya. Hal ini tentu banyak dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan daerah setempat (adat resam), kekuatan mistis (ritual), kepercayaan (religi) animisme dan dinamisme. Para leluhur masyarakat Melayu sangat paham betul bahwa dalam ketiga hal tersebut dapat mempengaruhi setiap aktivitas untuk mendapatkan konstruksi bangungan rumah panggung yang nyaman dan penuh kearifan budaya tersebut. Mereka telah memikirkan cara aman untuk berlindung dari keganasan alam, dan serangan binatang buas. Kalau dikaitkan