Penulis : Dr. Deny Setiawan, M. Si
Kemajemukan bangsa Indonesia termasuk dalam hal etnik, merupakan kekayaan budaya nasional yang selama ini telah dijadikan simbol kebanggaan bersama. Dalam Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia (Melalatoa, 1995) menyebutkan, negara-bangsa Indonesia terdiri dari lebih 700 suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing. Data ini menunjukkan perbendaharaan akan kemajemukan budaya yang dimiliki Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Melalui sejarah yang panjang, semboyan Bhineka Tunggal Ika dan unsur pemersatu lainnya, dijadikan frame penggugah rasa kesadaran berbangsa bagi kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia untuk mengikatkan diri menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia, di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun kebanggaan akan pluralitas budaya sebagai salah satu simbol identitas bangsa, dan persatuan Indonesia yang seakan-akan taken for granted selama 32 tahun kepemimpinan rezim Orde Baru, telah menina-bobokan masyarakat Nusantara, hingga baru terbangun saat reformasi bergulir di tahun 1998.
Reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa, telah membuka mata dan menyajikan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara bersama oleh seluruh komponen bangsa di republik ini, seperti antara lain: masalah integrasi, identitas kebangsaan, dan upaya penumbuhan budaya kewarganegaraan. Pasca reformasi 1998, konsep integration, identity, dan civic culture, nampaknya perlu dikonstruksi kembali untuk menemukan formulasi dengan mengembangkan model atau strategi untuk kasus Indonesia yang polyethnic di arus globalisasi yang tengah membawa nilai-nilai global-mondial-universal. Untuk itu dalam kerangka kelangsungan hidup bangsa, penemuan kembali nilai-nilai intrinsik (re-discovery nilai-nilai sosial budaya bangsa) masih sesuatu yang urgen untuk dilakukan, terutama dalam menghadapi perubahan dan alur pergeseran (shift) di era global.
Era globalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari terhadap kebudayaan-kebudayaan dan etnik-etnik yang ada di dunia. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat.
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Nilai-nilai yang mapan selama ini, mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di banyak kalangan masyarakat, yang kemudian memunculkan konflik pada setiap dimensi, termasuk konflik hubungan antar etnis.
Paparan di atas menggambarkan bahwa globalisasi pada aspek ideologis, politis, ekonomis, dan sosial budaya, sebagai faktor eksternal telah mendorong terjadinya konflik antar etnis di berbagai kelompok masyarakat dunia (Ryan, 1990: xxv).
Sementara secara internal di dalam masyarakat majemuk itu sendiri secara alami di dalamnya mengandung potensi konflik (Geertz, 1963), baik secara horizontal, vertikal, bahkan berganda (Pelly, 1992). Kemajemukan akan menjurus ke arah intensitas konflik yang sangat potensial, apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Bila ditempatkan dalam konteks hubungan antar etnis, perbedaan faktor-faktor horizontal yang secara bersamaan dihadapkan pula oleh adanya perbedaan faktor-faktor vertikal, maka perbedaan kultural antara kedua kelompok etnis tersebut menjadi sangat signifikan, dan potensi konflik akan lebih mudah menjurus ke arah konflik terbuka.
Sungguh berat ancaman dan tantangan yang dihadapi negara bangsa dalam wujudnya yang majemuk. Tidak dapat dipungkiri jika hidup dalam suatu negara majemuk dengan beragam etnis, menghadapi sejumlah permasalahan yang kompleks.
Bagi Indonesia, kemajemukan masyarakat tersebut merupakan faktor yang sangat diperhitungkan pada saat awal berdirinya negara. Elemen kamajemukan ini berkaitan dengan apa yang disebut oleh Geertz (1963: 105) sebagai primordial attachments yaitu suatu sifat budaya dan tingkah laku pada suku (tribe), daerah (region), agama, kelompok etnis, dan pengelompokan-pengelompokan sejenisnya yang bersifat given. Kondisi ini dalam banyak hal justru telah menjadi dasar yang kuat dari suatu kekuasaan dan identitas, karena mempunyai sifat pasti dan inherent. Bahkan sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya, bangsa ini telah dihadapkan primordial attachmenst. Primordialisme inilah yang merupakan pengikat asli masyarakat Indonesia, dan atas dasar ikatan ini pengelompokan masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang, baik dalam organisasi pemerintahan, massa, maupun kepemudaan.
Suatu masyarakat bangsa yang sarat dengan primordial sentiment semacam ini, menurut Geertz, memerlukan suatu integrative revolution yaitu suatu gerak integrasi masyarakat ke dalam ikatan-ikatan kultural yang lebih luas, yang mendukung pemerintahan nasional. Tanpa adanya gerak integrasi semacam ini, bila timbul sedikit saja kekecewaan yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan golongan, akan meningkatkan potensi meledaknya disintegrasi politik (Alfian, 1990: 13).
Integrative revolution tersebut sebenarnya termasuk dalam proses yang dikenal dengan nation building, yang merupakan upaya terencana dan berkelanjutan untuk menanamkan kesadaran pada kalangan yang luas dalam masyarakat, bahwa walaupun beraneka ragam latar belakang etnik, agama atau pun budayanya, mereka adalah satu bangsa, yang secara bersama-sama dapat membangun masa depan yang lebih baik di dalam suatu nation state (Bahar, 2000: 161).
Pendapat ini menunjukkan bahwa gerak integrasi yang mengalir pada awal pembentukan nation-state di Indonesia, berangkat dari communitarian culture menuju ke political culture, yang atas dasar le desir de vivre ensemble (Ernest Renan dalam Hartono, 1994: 54), bangsa-bangsa yang sudah lama hidup di Nusantara bersepakat mengikatkan diri menjadi suatu bangsa yang besar. Bangsa yang menggambarkan imagined communities (Anderson, 1983), dimana seseorang membayangkan keanggotaannya terhadap komunitas bangsanya.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka integrasi yang dibutuhkan bagi bangsa Indonesia adalah integrasi yang dapat mengakomodir koeksistensi (pluralisme-budaya) guna mendorong pelestarian diversikasi etnik dan rasial serta memperlakukan semua kategori penduduk secara setara (Habib, 2006). Lebih lanjut Marger (1985: 72), menambahkan integrasi diartikan sebagai situasi yang memberikan peluang berpartisipasi dengan bebas di dalam semua bentuk interaksi sosial (baik pada tingkat primer maupun dalam tingkat sekunder), tanpa mempermasalahkan etnisitas seseorang. Dalam kaitannya dengan apresiasi pluralitas, maka integrasi dalam konteks ke-Indonesia-an harus ditempatkan dalam koridor integrated pluralism (Besar, 1994). Dengan konsep ini, integrasi tidak selamanya menghilangkan deferensiasi karena yang terpenting di sana adalah memelihara kesadaran dalam menjaga keseimbangan hubungan. Dengan demikian eksistensi dan identitas masing-masing kelompok sosial yang terintegrasi tetap diakui (Sunyoto Usman dalam Amal dan Armawi, 1995: 80).
Integrasi dalam koridor integrated pluralism, berarti integrasi yang mengakui dan memberi penghormatan pada setiap entitas identitas. Menurut Hogg dan Abram (1988), setiap individu pada dasarnya ingin memiliki identitas sosial yang positif melalui recognition dan social equality. Pengakuan dan persamaan sosial inilah yang merupakan upaya integratif dalam mendukung proses pembentukan identitas bangsa. Pengakuan akan adanya perbedaan (recognition and difference) pada hakekatnya bermuara pada pengakuan terhadap hak asasi manusia untuk memiliki kebudayaan sendiri yang perlu diakui oleh komunitas lainnya (the politics of recognition) (Tilaar, 2007: 170). Inilah cerminan dari suatu masyarakat majemuk yang demokratis yang memberi upaya kondusif terhadap penumbuhan budaya kewarganegaraan (civic culture).
Bahmuller (1997: 221) menjelaskan bahwa perkembangan demokrasi tergantung oleh sejumlah faktor yang menentukan, yang salah satunya adalah civic culture. Ditambahkan oleh Winataputra dan Budimansyah (2007: 220) bahwa civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan … a set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpuse of shaing civic identities. Sementara Almond dan Verba (1990: 37) menegaskan, civic culture merupakan mata rantai penghubung antara mikro dan makro politik.
Dalam konteks ke-identitas-an, hubungan antara proses pembentukan identitas bangsa dengan budaya kewarganegaraan, menunjukkan interelasinya secara mutualis. Dalam tataran makro (political culture), proses pembentukan identitas bangsa yang demokratis sebagai impact dari integrasi yang integrated pluralism dapat memberikan suasana kondusif bagi penumbuhan civic culture; dan sebaliknya dalam tataran mikro, melalui civic culture identitas individu yang terikat dengan communitarian culture dapat menempatkan diri dan berkesesuaian secara harmoni dengan political culture dalam nation-state, dimana individu sebagai warga negara berada.
Paparan di atas, menggambarkan isi dari buku ini mengkaji keterkaitan antara tema integrasi, identitas dan budaya kewarganegaraan. Di era demokratisasi dan di alam reformasi, tema-tema tersebut dipandang urgen untuk dikaji ulang dalam menemukan model integrasi dan formulasi identitas bangsa yang dapat memberikan kontribusi terhadap penumbuhan budaya kewarganegaraan . Sinergis keterkaitan tiga tema tersebut, memberi ruang kepada semua warga negara tanpa terkecuali untuk turut secara aktif dalam membangun masyarakat multikultural yang demokratis.