Keberlangsungan pendidikan tinggi di Indonesia terancam. Hal ini terkait dengan jumlah dosen yang terus tergerus tanpa ada regenerasi yang memadai.
Akibatnya profesi dosen pun akan semakin langka dan mahal. Data Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) menyebut, empat tahun ke depan ada 10.000 dosen yang akan pensiun secara bergelombang. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena hampir tiga tahun terakhir ini belum ada lagi penerimaan CPNS dosen. Padahal kebutuhan dosen sangat mendesak.
“Ini artinya profesi dosen dan tenaga pendidikan akan semakin langka dan mahal. Maka (dosen dan tenaga pendidikan) yang ada harus berkinerja lebih baik lagi,” kataDirjenSumberDaya IptekDikti(SDID) Kemenristek Dikti Ali Ghufron Mukti seusai pemberian Penghargaan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan 2016 diBandung, JawaBarat, kemarin. Dia mengatakan memang ada tenagadosendiperguruantinggi negeri baru sebanyak 5.350 orang.
“Ini sedang digodok aturannya, bagaimana caranya mengangkat mereka sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja,” jelasnya. Aturannya bisa melalui peraturan presiden maupun menteri. Untuk mengangkat dosen dan tenaga kependidikan diperguruan tinggi baru menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, setidaknya memerlukan dana sebesar Rp300 miliar setahun. Mantan Wakil Menteri Kesehatan ini mengatakan, terbatasnya jumlah dosen akan memengaruhi rasio dosen dengan mahasiswa yang pada akhirnya berujung pada kurangnya kualitas pendidikan tinggi.
Dia mengatakan kondisi dosen harus berkembang, tidak hanya kualitas tetapi juga jumlahnya. “Memang ada kabar akan dibuka formasi sekitar 1.500 untuk dosen, tetapi belum pasti juga, paparnya. Dia pun akan melaporkan kondisi ini kepada Menristek Dikti Mohamad Nasir. Tujuannya agar ada pertemuan antara Kemenristek Dikti dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan- RB) untuk membuka formasi baru maupun terobosan rekrutmen dosen.
Bayangkan, kata dia, jika tidak ada tambahan dosen, dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan globalisasi sumber daya manusia (SDM) Indonesia pun akan kalah berkompetisi. Guru besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu mengungkapkan, memang sudah ada terobosan menambah dosen dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) yang bisa direkrut langsung oleh PTN. Namun hal ini terkendala dengan kemampuan sumber daya PTN itu sendiri. Di sisi lain, meski banyak dosen yang sudah ber-NIDK, mereka masih berkeinginan menjadi dosen PNS. “Mereka ingin menjadi PNS karena ada jaminan.
PNS pun katanya tidak bisa dipecat, padahal ada peraturan disiplin pegawai yang memungkinkan mereka bisa dipecat,” katanya. Menurut Ali Ghufron, pemerintah pun menghadapi kenyataan kebanyakan dosen ingin menjadi rektor atau mengejar target jabatan struktural. Untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut, berbagai penghargaan pun akan diberikan kepada dosen berprestasi agar mereka memiliki komitmen dan prestasi. Salah satunya dengan penghargaan tersebut, para dosen berprestasi diberi uang sejumlah Rp30 juta.
“Anggaran dipotong tapi khusus untuk penghargaan pendidik dan tenaga kependidikan ditambah. Dulu tidak semua finalis diberi uang, tapi sekarang kami beri reward bagi mereka,” katanya.
Perlu Terobosan
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah berpendapat, seharusnya pemerintah lebih cerdas dengan membuat kebijakan untuk menghadapi ancaman kelangkaan dosen. Misalnya dengan NIDK, katanya, jika kampus tidak mampu membiayai dosen NIDK, pemerintah bisa memberi bantuan dari hibah, Bantuan Operasional PTN (BOPTN) atau mengalihkan dana bantuan infrastruktur agar kampus bisa melakukan penambahan dosen.
Dia mengungkapkan, solusi masalah kelangkaan dosen itu tidak harus dengan pembukaan rekrutmen PNS, tetapi pemerintah bisa mengangkat dosen berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Terlebih saat ini untuk status PPPK, katanya, diberi gaji dan tunjangan yang besar walaupun tidak mendapat pensiun. Satu lagi, dia berharap ada penataan karier bagi dosen PPPK sehingga mereka mendapat kepastian kerja bagi masa depannya.
Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Ravik Karsidi mengatakan, melalui anggaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pihaknya hingga saat ini sudah mengangkat sendiri 124 dosen dengan status NIDK. Dia mengakui, jika mereka tidak mengangkat dosen NIDK, dosen yang pensiun akan mengancam kelangsungan proses belajar mengajar. “Yang saya tempuh saat ini ialah kami mengangkat dosen non-PNS. Kami mengangkat dosen non-PNS ini karena kalau menunggu pengangkatan formasi PNS akan keduluan dengan dosen yang pensiun,” katanya.
Ravik menyampaikan, dosen NIDK ini diberi remunerasi serta berbagai tunjangan, misalnya tunjangan untuk anak istri. Dia mengakui, dosen NIDK memang tidak mendapat uang pensiun layaknya dosen PNS. Namun untuk mengatasi masalah itu, pihaknya mendaftarkan para dosen NIDK ke BPJS Ketenagakerjaan agar bisa mendapat jaminan untuk hari tuanya. Selain itu mereka juga didaftarkan di BPJS Kesehatan sebagai jaminan kesehatan.
Dia mengakui, dosen NIDK memang tidak bisa menjadi pejabat pengelola keuangan seperti dosen PNS. Namun kampusnya sedang dalam proses membuat peraturan agar dosen NIDK ini bisa menjadi pejabat fungsional. Selain itu dengan status NIDK sendiri, katanya, para dosen ini pun bisa menempuh sertifikasi dosen. “Kami ikat mereka dengan perjanjian kontrak selama lima tahun dan bisa diperpanjang,” jelasnya.
Adapun pengamat pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berpendapat, alasan tidak ada dana selain klasik juga akan menghancurkan perguruan tinggi karena rasio dosen dengan mahasiswa tidak akan seimbang. Berulang kali, lanjut dia, pemerintah melakukan moratorium pengangkatan dosen yang hanya akan semakin memundurkan standar mutu perguruan tinggi itu sendiri. Sementara pemerintah sendiri memberikan anggaran yang begitu besar pada kegiatan nonakademik daripada peningkatan kualitas dosen. Selain itu juga pemerintah mengalokasikan anggaran yang begitu tinggi pada biaya perjalanan pejabat.
“Biaya untuk dies dan perjalanan bisa dipangkas lalu dialokasikan untuk mengangkat dosen,” terangnya. Said menuturkan, sebenarnya kondisi pendidikan tinggi saat ini jauh lebih baik dari 15 tahun lalu. Sebut saja program kuliah magister dan doktor sudah banyak dan akses langsung ke jenjang S-1, S-2 hingga S-3 pun semakin mudah karena beasiswa yang tersedia lebih banyak. Selain itu, katanya, penghasilan dosen pun sudah cukup baik dengan ditambah tunjangan-tunjangan.
Namun masalahnya adalah lingkungan kerja dan suasana kerja dosen masih buruk karena fasilitas yang masih memprihatinkan. Sistem kepegawaian dosen pun terbelenggu pada aturan administrasi pegawai kantor. Selain itu sistem rekrutmen dosen lebih jelek dari 30 tahun lalu di mana kampus mempunyai wewenang menyeleksi dan membina calon asisten/ dosen.
“Pengangkatan dosen belum didasarkan pada keahlian calon dosen (diidentifikasi dari judul tesis/disertasi) yang berakibat dosen baru tadi tidak mampu mencurahkan keahliannya secara maksimal,” tandasnya.