Kasus UII: Mengapa kekerasan fisik masih ada di pendidikan pencinta alam?


1

Pendidikan dasar pencinta alam yang digelar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun ini menjadi sorotan setelah tiga peserta meninggal dunia.

Ketiganya adalah Muhammad Fadhli (20), Ilham Nurfadmi Listia Adi (20), dan Syaits Asyam (19).

“Saya ada di sampingnya, saat dia sekarat. Sebelum meninggal dia sempat mencium tangan saya, dan minta maaf…” kata Sri Handayani, ibu Syaits Asyam, sambil menahan tangis, saat menceritakan momen terakhir bersama putranya.

Asyam dikenal sebagai pemuda yang berprestasi.

Dia pernah meraih tiga medali emas, yakni medali emas bidang kimia di International Environment Sustainability Project Olympiad (INESPO) 2014 di Belanda, medali emas International Environment Sustainability Project Olympiad (ISPRO) 2014 di Jakarta, dan medali emas Indonesian Science Project Olympiad (ISPO) 2014 juga di Jakarta.

Berkat prestasinya, Asyam diundang ke Istana oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Berbekal prestasi itu pula, Asyam bertekad melanjutkan kuliah di Oxford, Inggris. Namun, cita-citanya terhenti sebelum tercapai.

“Dia punya cita-cita ke Oxford, sudah termotivasi sejak SMA. Saya semula berharap suatu saat nanti Asyam bisa menjadi Menteri Riset dan Teknologi di Indonesia. Meski tidak tercapai, bagi saya dia sudah menjadi seorang menteri, karena karya-karya ilmiahnya yang sudah banyak berguna bagi lingkungan,” kata Sri.

Asyam meninggal dunia di RS Bethesda, Yogyakarta, Sabtu (21/1) lalu, setelah mengikuti kegiatan The Great Camping (TGC), pendidikan dasar Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Unisi UII di lereng selatan Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, pada 13-20 Januari 2017.

Hingga Rabu (25/01) polisi masih memeriksa para saksi dan belum menetapkan tersangka. Rektor UII, Harsoyo, menyatakan pihak universitas akan bekerja sama dengan kepolisian untuk menyelidiki penyebab kematian korban.

Laporan media menyebutkan panitia pendidikan dasar dilarang meninggalkan Yogyakarta untuk memudahkan pemeriksaan. Selain itu, pihak universitas juga dilaporkan membekukan kegiatan unit mahasiswa pencinta alam.

Kultur kekerasan

Sejumlah laporan mengatakan meninggalnya peserta diduga terkait dengan hukuman fisik yang mereka terima. Banyak pihak mengatakan hukuman fisik di pendidikan dasar organisasi pencinta alam sudah terjadi sejak puluhan tahun silam.

Tommy Andriansyah, seorang alumnus organisasi pencinta alam dari sebuah Universitas di Kalimantan, masih ingat betul momen yang terjadi tahun 1987 lalu, saat alas sepatu lars membenamkan kepalanya ke dalam kubangan lumpur berulang kali.

“Waktu itu saya ikut pendidikan dasar, kepala saya diinjak pakai sepatau tentara, lalu dibenamkan beberapa kali ke dalam air, ditahan di dalam air beberapa detik,” ungkap Tommy.

Namun, Tommy tak ingin kultur kekerasan terus melekat dalam tata cara pendidikan dasar pencinta alam.

Bersama beberapa rekan alumni lainnya, Tommy mendirikan program pelatihan dasar lingkungan dan pencinta alam bagi murid SMP dan SMA.

Semua metode pelatihan yang diberikannya sama sekali tidak menggunakan kekerasan fisik. Dalam enam bulan terakhir Tommy sudah memberikan pelatihan di empat sekolah di Jakarta.

“Sudah tidak relevan lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam pendidikan dasar pencinta alam. Zamannya sudah berubah. Saat ini sudah banyak cara lain untuk membentuk mental dan memberikan hukuman fisik dengan cara yang aman. Mereka yang masih menggunakan kekerasan berarti tidak mengikuti perkembangan zaman,” tegas Tommy.

 

Ketua rekruitmen organisasi pencinta alam Wanadri , Yudi Suyudiman, juga menilai, hukuman fisik yang disertai dengan kekerasan bukan cara yang tepat untuk membentuk mental yang tangguh.

“Kerasnya tantangan alam yang dilalui peserta, sudah memberikan tantangan untuk membentuk mental yang tangguh. Alam yang akan melakukan seleksi dengan sendirinya. Mereka yang masih menggunakan kekerasan, belum mengetahui metode yang tepat untuk membentuk seorang pencinta alam yang tangguh,” kata Yudi.

Pola seleksi peserta dan instruktur dalam pelatihan dasar juga menjadi bagian krusial.

Setiap calon peserta pendidikan dasar Wanadri, harus melewati masa prapendidikan dasar selama empat bulan, untuk bisa ikut pendidikan dasar Wanadri. Mereka juga harus lulus tes kesehatan, psikotes dan tes fisik.

“Tidak hanya peserta pendidikan dasar yang diseleksi, instruktur yang dipilih pun harus benar-benar tahu apa yang dilakukan. Karena keselamatan adalah yang utama,” kata Yudi.

Wanadri berharap, pembekuan seluruh kegiatan organisasi pencinta alam di kampus UII hanya berlaku untuk sementara, sebagai bentuk evaluasi terhadap kegiatan berikutnya.

SUMBER : BBC