Kisah Guru Anak Buruh Migran, Menyebar Pendidikan Demi Masa Depan


01

KESADARAN terhadap pentingnya pendidikan masih lemah di kalangan anak-anak buruh migran Indonesia (BMI) di Sarawak, Malaysia. Lingkungan kebun sawit mengurung cita-cita mereka. Orangtua menganggap nasib anak-anaknya tak akan jauh dari penombak buah sawit, pengemudi mobil pengangkut, atau pekerjaan buruh ladang lain seperti pekerjaan mereka saat ini.

Permasalahan itu diceritakan oleh Muhammad Syakir (29 tahun), seorang guru anak-anak BMI di Community Learning Center (CLC) Ladang PKK Lavang, Sarawak. Lemahnya kesadaran yang buruk terhadap pendidikan, menimbulkan karakter anak yang kurang baik dalam menempuh pendidikan.

Lelaki bergelar sarjana hukum ini pada awalnya mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak BMI di sana. Namun, ia selalu bercermin pada dirinya, bahwa pendidikan itu penting, setidaknya akan merubah karakter hidupnya untuk menjadi manusia yang bermanfaat pada sesama.

“Saya ini sarjana hukum, tapi kan pernah juga merantau ke Sarawak sebagai buruh tombak buah sawit. Jika saya jatuh mikirin gelar yang sia-sia, maka saya tidak akan bisa menyelamatkan anak-anak di sana. Saya segera menyadari, bahwa gelar sarjana ini harus dimanfaatkan bagi mereka dan tetap memotivasi anak-anak bahwa pendidikan itu penting. Mereka harus lebih baik nasibnya daripada kita-kita orangtuanya,” cerita Syakir saat ditemui di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Selasa, 21 Maret 2017.

Menurut Syakir, awalnya anak-anak di sana tidak mengenal apa itu arti pendidikan. Mereka awam dengan etika belajar. Tak jarang guru diperlakukan seperti teman sebaya. Selain disebabkan lemahnya kesadaran terhadap pendidikan kondisi itu menurutnya diperparah pengaruh lingkungan pekerja ladang yang kurang baik, tenaga anak-anak yang dikuras untuk bekerja, juga lemahnya akses informasi dan pengetahuan berkualitas.

Dengan kondisi demikian, target utama pendidikan yang diperjuangkan Syakir, Nurdin, dan cikgu lainnya di Ladang Lavang juga di Sarawak secara umum adalah untuk pendidikan karakter anak-anak, dan semangat belajar yang terus dipompa. Beragam cara telah dilakukan, mulai dari tindak tegas, perilaku mengalah dan lemah-lembut, hingga kini ia telah menemukan rumusan yang tepat dalam mendidik anak-anak BMI di sana

Tentu perjuangan tidak mungkin hanya menelurkan kesedihan. Setelah gigih berjuang, anak didik dari Sarawak mulai menorehkan prestasi. Misalnya pada tahun 2015, salah seorang anak berhasil meraih juara 3 Olimpiade Matematika antar sekolah Indonesia Se-Malaysia yang diselenggarakan di Kuala Lumpur.

Keberhasilan pendidikan karakter misalnya dapat dilihat dari kisah Yudi (15). Syakir menceritakan bahwa Yudi sebagai anak dengan karakter dan prestasi yang telah berubah 180 derajat. Awalnya, Yudi merupakan anak yang susah untuk dididik; merokok di dalam kelas ketika guru tidak ada, mengganggu suasana belajar temannya, mengajak guru bertengkar, hingga bersikap sembarangan terhadap teman-teman.

Namun Syakir tidak menghukum Yudi sebagai anak bersalah, tetapi Yudi dianggap sebagai anak yang perlu diperjuangkan karena tetap memiliki potensi. Anggapan Syakir benar. Perlahan-lahan Yudi dididik dengan diberi kepercayaan menjadi ketua keamanan sekolah. Kemudian setelah berperilaku lebih baik, Yudi diberi kepercayaan sebagai Ketua OSIS.

Kini, Yudi menjadi salah satu pemuda harapan Indonesia. Ia mampu menggerakkan teman-temannya untuk melakukan kegiatan di OSIS, bahkan dengan melibatkan orang tua mereka agar turut turun tangan dalam pembangunan anak-anak.

“Sekarang ya Si Yudi tengah sibuk mempersiapkan upacara kemerdekaan. Buruh-buruh di sana diajarkan oleh dia dan teman-temannya untuk baris-berbaris, kegiatan Osis tuh, dari mereka semua. Kita tinggal datang dan memantau. Mereka ingin upacara Agustus nanti buruh-buruh bisa mengibarkan Bendera Merah Putih di tanah orang,” tuturnya.

Pendidikan di CLC Lavang pun mulai digerakkan menjadi tanggung jawab bersama. Tiga tahun lalu, Syakir dan Nurdin membentuk sebuah Komite Sekolah dengan tujuan wadah terlibatnya orangtua anak-anak.

“Tiga tahun pertama kami merasa sangat lelah. Kami sadar, bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anak itu berat sekali kalau kami yang harus menanggung semua. Akhirnya, kami berpikir untuk mengundang orang tua murid. Contohnya sederhana, anak-anak yang didukung orang tuanya untuk belajar di rumah, mereka sering mengerjakan PR. Berbeda dengan yang tidak didukung, susah sekali untuk kumpulkan PR. Karena itulah saya ingin melibatkan orangtua,” jelasnya.

Kini, semua pihak bahu-membahu mencerdaskan anak-anak BMI di Lavang. Bahkan, sembilan laptop yang ada di sekolah adalah milik anak-anak, tetapi oleh orang tua mereka diminta disimpan di sekolah agar bisa menjadi bahan belajar untuk siapapun.

Orang tua yang menjadi buruh sawit pun kini mulai yakin akan nasib lebih baik yang bisa didapatkan anak-anaknya lewat jalan pendidikan. Syakir percaya, akan hadir generasi emas Indonesia dari ladang sawit Sarawak, Malaysia.

Sumber : Pikiran Rakyat