Cerita pendiri Sekolah Rimba soal pendidikan di pedalaman


01

Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk melalui beragam suku, adat istiadat, budaya, bahasa dan agama. Namun, dengan kemajemukan ini, Indonesia tidak seharusnya dimaknai sebagai negara lemah yang rentan konflik dan disintegrasi.

Hal itu diutarakan Pendiri Sokola Rimba, Saur Marlina Manurung, dalam seminar nasional dengan tema Peran Kebudayaan Dalam Pembangunan di Kantor Bappenas,Jakarta, Kamis (30/3).

Kata dia, dengan kemajukam itu semestinya Indonesia menjadi negara yang kuat dan unggul. Tentunya bisa diawali dengan membangun pendidikan dan melestarikan kebudayaan di setiap wilayah, apalagi di pedalaman yang kurang mendapatkan perhatian.

Pemerintah sudah berupaya melakukan berbagai hal untuk mencerdaskan bangsa, namun banyak masalah yang dihadapi dalam membangun pendidikan, entah itu dari kurangnya tenaga guru, atau partisipasi masyarakat itu sendiri.

“Masalah pendidikan di pedalaman selalu dilihat dari sisi kurangnya guru saja. Padahal saya pernah lihat sekolah di suku Asmad sana, ada gurunya kok tapi muridnya nggak datang, aduh ada apa ya,” kata wanita yang akrab disapa Butet ini.

Jadi, masalah yang didapat mulai dari kapasitas dan perspektifitas guru yang kurang pemahamannya tentang budaya dan kebiasaan masyarakat rimba.

“Masalah real ya, seperti siswa disana harus datang tepat waktu, namun nggak ada yang datang, kenapa ini, ” ungkapnya.

Di Sokola Anak Rimba sendiri, yang menjadi masalah dan kerap dihadapi ialah aktivitas mereka yang kerap hidup bebas dan sulit jika harus mematuhi peraturan baru.

“Ada yang keberatan untuk masuk pagi, mereka beralasan setiap pagi ada kegiatan jadi tidak bisa datang ke sekolah pada saat yang sama. Mereka ada yang mencari ikan di sungai setiap pagi, berburu hewan di hutan, bahkan tidur, itu merupakan kebiasaan mereka,” ungkapnya.

Cara mengajar di setiap tempat atau daerah memiliki perbedaan yang signifikan. Mengajar di hutan rimba tidak sama seperti mengajar di perkotaan. Maka dibutuhkan pemahaman dalam berbahasa.

“Tujuan kita adalah mengajar, namun yang harus kita ketahui bahwa untuk mengajar kita harus memahami betul apa yang ada. Seperti bahasa misalnya. Bahasa itu kan budaya, jadi kita harus menggunakan bahasa mereka (bahasa ibu), agar mereka mudah mengerti dan supaya suatu saat nanti tidak melupakan adat istiadat mereka,” lanjutnya.

Didalam pasal 31 ayat (1) menyatakan Setiap Warga Negara Berhak Mendapat Pendidikan.

“Kan sudah diterangkan UUD pasal 14, rakyat Indonesia punyak hak mendapatkan pendidikan. Jadi inilah upaya pemerintah untuk mencerdaskan bangsa, agar rakyat Indonesia menjadi kuat dan unggul,” tutupnya.

Sumber : Merdeka