Ayo Upayakan Pendidikan Siswa Miskin


2

PROSES penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA/SMK 2017 mulai menggelinding. Kini bukan lagi ditangani pemerintah kabupaten/kota sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Namun, sepenuhnya ditangani provinsi.

Sejumlah persoalan saat ini sedang menghadang. Salah satunya, petunjuk teknis yang disusun Pemprov Jatim menetapkan kuota 8 persen bagi siswa tidak mampu. Kuota yang kecil bila dibandingkan jumlah penduduk miskin di provinsi ini.

Dalam PPDB, mereka bisa masuk melalui dua jalur, yakni jalur bidikmisi untuk siswa tidak mampu tapi berprestasi sebesar 3 persen. Ada juga mitra warga. Itu untuk mereka yang benar-benar tidak mampu. Kuotanya 5 persen. Di jalur itu, biaya pendidikan mereka memang menjadi tanggungan pemerintah. Kebijakan tersebut memang membuat peluang siswa miskin untuk bisa belajar ke SMA/SMK pun semakin kecil.

Kini, sejak peralihan kewenangan ke provinsi, belajar di SMA/SMK memang tidak seenak dulu ketika dikelola kabupaten/kota. Anggaran provinsi tidak cukup meng-cover seluruh biaya pendidikan menengah atas.

Akibatnya, sekolah memungkinkan menarik biaya dari siswa dalam bentuk sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP). Ketika kebijakan diberlakukan, faktanya, kemampuan siswa yang mampu membayar SPP rata-rata hanya 70 persen. Sisanya memang benar-benar tidak mampu. Secara ekonomi, orang tuanya miskin. Namun, anaknya memiliki semangat tinggi belajar. Bila mereka dipaksakan membayar biaya pendidikan, dropout di depan mata.

Nah, kondisi serupa tentu bisa terjadi dalam PPDB tahun ini. Bahkan, bukan tidak mungkin jumlah siswa tidak mampu tersebut bertambah. Bila pemerintah tidak segera mengambil kebijakan untuk menambah kuota siswa tidak mampu, bersiaplah untuk membengkaknya angka putus sekolah di daerah-daerah. Angka partisipasi pendidikan menengah di kabupaten/kota tiba-tiba bisa jatuh. Sungguh disayangkan bila peralihan kewenangan SMA/SMK yang bertujuan memeratakan memperoleh kesempatan pendidikan berkualitas justru menjadi masalah baru.

Karena itu, pemprov, pemkab, dan pemkot di seluruh Jatim perlu segera duduk bersama mencari solusi. Pikirkanlah nasib anak-anak lulusan SMP itu. Upayakan mereka bisa tetap belajar dan menggapai mimpi-mimpinya. Pemerintah kabupaten/kota sekarang sudah bukan saatnya lagi mempertahankan ego sendiri-sendiri. Sebab, apa pun mereka, bocah-bocah yang terancam putus sekolah itu adalah tanggung jawab konstitusi para pemimpin daerah.

Sudah bukan saatnya pula para pemimpin kabupaten/kota menyatakan enggan cawe-cawe lagi menyikapi masalah SMA/SMK. Saatnya ambil kebijakan yang cerdas demi kelangsungan pendidikan siswa. Dengan demikian, langkah baik itu akan dicatat para generasi mendatang.