Tulisan ini terinspirasi oleh seminar nasional dengan tema Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Multibahasa dan Multibudaya pada tanggal 22-24 Mei, 2017, di Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL), Larantuka, Flores Timur.
Dalam seminar itu dikemukakan, antara lain, pendidikan berperan penting bukan hanya untuk menumbuhkembangkan kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian tetapi juga untuk melestarikan bahasa dan budaya apapun sehingga tidak akan ada seorangpun yang tercabut dari akar budayanya. Dengan berbekalkan karakter yang berakar kuat dalam bahasa dan budaya tersebut, setiap insan Indonesia, diharapkan bisa masuk panggung nasional atau global secara sukses.
Walaupun demikian, diakui pendidikan sering gagal mengemban misi tersebut. Alih-alih menjadi sesuatu yang memberdayakan, pendidikan malah menjadi momok. Pelajaran bahasa Inggris dan matematika, misalnya, menurut seorang guru peserta seminar IKTL, menjadi momok.
Keduanya dan, saya kira, juga mata pelajaran lain yang tidak sesuai kebutuhan belajar, minat, dan bakat/potensi murid membuat murid sakit, frustrasi, depresi, dan, bahkan, bunuh diri, sebuah gejala yang juga terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Di AS, anekdot berikut populer dan itu menggambarkan jelas bagaimana sekolah menjadi momok: ketika seorang anak SD dibangunkan ayahnya untuk ke sekolah, si anak mengatakan bahwa dia “sakit.”
Ketika si ayah menanyakan sakitnya di mana (di hati atau kaki atau perut atau bagian tubuh lainnya), si anak menjawab dengan ketus, “Di sekolah.” Persoalannya adalah mengapa demikian dan bagaimana mengatasinya?
Banyak alasan mengapa pendidikan menjadi momok. Gaya ajar guru yang jauh dari prinsip pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), tanpa senyum, main bentak, dan main pukul, misalnya, salah satu sebab. Kalau itu sebabnya, mengatasinya mudah: guru mengubah gaya ajarnya dengan mengimplementasikan PAIKEM (baca: meningkatkan kompetensi profesional, pedagogis, sosial, dan individualnya).
Apa itu cukup? Tidak.Mengapa? Sebab PAIKEM, sejatinya, terjadi kalau belajar dan pembelajaran berbasis potensi/bakat, minat, dan kebutuhan belajar murid (lihat juga Feliks Tans, Harian Kompas, 28 Desember, 2011, hlm. 7, Desentralisasi Pendidikan). Artinya, tidak akan ada proses belajar dan pembelajaran yang AIKEM kalau tidak dilakukan sesuai dengan potensi/bakat, minat, dan kebutuhan belajar murid.
Seorang anak didik yang, misalnya, tidak punya bakat musik dan, karena itu, tidak berminat belajar musik (baca, misalnya, Multiple Intelligences: Theory and Practice oleh Howard Gardner, 1993) akan tetap melihat belajar dan pembelajaran musik sebagai momok betatapun gurunya mengajar dengan gaya AIKEM.
Sebaliknya, seorang murid yang punya bakat besar dalam hal musik dan, karena itu, punya minat besar dalam bermusik dan berkebutuhan belajar musik akan tetap bergairah belajar dan pembelajaran musik walaupun gurunya mengajar dengan gaya yang jauh dari prinsip AIKEM.
Potensi/bakat besar yang melekat dalam dirinya, minatnya yang tinggi (strong passion), dan kebutuhan belajar musik yang kuat (strong learning needs of musics) akan membuatnya bertahan dan, bahkan, belajar dengan intensitas yang semakin kuat walaupun ada tantangan seperti gurunya yang mungkin mengajar dengan metode yang salah (mengabaikan PAIKEM) atau, bahkan, gurunya tidak ada dalam konteks seperti Thomas Alva Edison.
Dengan demikian, untuk menghilangkan hantu dari setiap ruang kelas, dari setiap mata pelajaran, dari setiap jenjang dan lembaga pendidikan, pendidikan harus berbasis potensi/bakat, minat, dan kebutuhan belajar murid. Karena bakat para murid secara umum terbatas pada satu atau dua bidang saja, maka mereka tidak boleh diharuskan/diwajibkan untuk mempelajari mata pelajaran yang berada di luar bakat/potensi, minat dan kebutuhan belajarnya.
Itu artinya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jangan lagi memaksakan berlakunya kurikulum nasional; biarkan setiap guru di setiap sekolah pada setiap jenjang pendidikan dengan pimpinan masing-masing menyusun kurikulumnya sendiri sesuai bakat/potensi, minat dan kebutuhan belajar muridnya.
Mereka, saya kira, lebih paham potensi/bakat, minat dan kebutuhan belajar muridnya daripada orang Jakarta. Dalam konteks belajar dan pembelajaran seperti itu, ketiga hal itulah, bukan PAIKEM, yang mendorong setiap murid tetap belajar dan belajar secara tekun walaupun ada tantangan.
Dari Larantuka, sebuah kota yang pada zamannya menjadi sumber para guru agung (great teachers) yang mencerdaskan Flores secara khusus, NTT secara umum, momok pendidikan di negeri ini telah dicoba untuk diusir via seminar IKTL, sebuah lembaga pendidikan tinggi baru yang, saya yakin, akan mengikuti jejak Larantuka: memberi pencerahan di Flores, NTT, Indonesia, dan, bahkan di dunia ini.
Ada, memang, pesisme dalam waktu yang terbatas dan dalam diri anak negeri ini yang lebih suka status quo daripada perubahan karena tidak mampu melihat pendidikan kontemporer secara kritis-kreatif. Pesimisme itu juga hadir dalam ketidakmampuan sebagian orang, seperti yang terlihat pada sebuah interupsi peserta seminar tersebut, untuk memahami paradigma pendidikan berbasis potensi/bakat/minat/kebutuhan belajar murid.
Pesimisme tersebut tidak boleh mengalahkan optimisme bahwa pendidikan negeri ini, cepat atau lambat, akan menghasilkan insan Indonesia yang bermutu yang mampu bersaing tidak hanya pada level lokal dan nasional, tetapi juga internasional. Caranya? Dunia pendidikan Indonesia harus tanpa momok. Untuk itu, biarkan para murid belajar secara intensif sesuai potensi/bakat, minat, dan kebutuhan belajarnya. Itu saja. Mudah, bukan?