Pendidikan di Sokola Rimba Asmat, Papua


01

Keberpihakan kadang penting, terutama menyangkut pendidikan. Tanpanya, pendidik dapat terjebak pada sistem yang menempatkan murid sekadar objek. Bila demikian, guru tak ubahnya penjajah yang datang dan berlaku semena-mena. Para guru juga bisa menakar serta mengubah nilai hidup anak didik sesuai kemauan mereka.

Buku ini menceritakan pembelajaran di Mumugu Batas Batu, Agats, Papua. Penulis pernah mengajar Suku Anak Dalam, Jambi. Buku ini antara lain berisi kondisi alam Papua dan kegiatan belajar mengajar, kekayaan budaya Asmat, toleransi agama, sampai penyakit malaria.

Di Mumugu Batas Batu, anak-anak belajar di Sokola Rimba. Pada tiap-tiap bab mengabarkan kepada pembaca tentang kehidupan orang Mumugu Batas Batu mulai dari budaya, nilai-nilai luhur, kemelaratan sosial, alienasi, serta kegagalan pendidikan nasional.

Sokola Rimba menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan budaya. Corak kehidupan masyarakat Asmat yang masih berburu dan meramu menjadi panduan kurikulum pengajaran. Tujuan pendidikan di Sokola Asmat pun lebih untuk membantu masyarakat menjalani kehidupan mereka. Program belajar hanya menyangkut membaca dan literasi terapan.

Namun begitu, pendidikan Sokola Asmat dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat setempat. Misalnya, anak-anak Asmat tak lagi dapat dibodohi para makelar soal ongkos jasa angkut. Dari kelas literasi terapan, pendidikan mampu memacu kesadaran warga Mumugu Batas Batu untuk mengadvokasi sendiri hak ulayat mereka (hal 290–291).

Buku ini juga mendeskripsikan semangat menyelenggarakan pendidikan bagi siapa pun. Pendidikan akan memberi kesetaraan yang belum dapat diwujudkan dalam sistem pendidikan nasional karena cenderung kaku dan memaksa. Kurikulum pendidikan nasional dipandang hanya berisi “target-target tak realistis” yang disusun pejabat di pusat, tanpa tahu kondisi tiap-tiap daerah, termasuk Asmat (hal 276).

Ada juga kutipan Paolo Freire (hal 303), “The educator has the duty of not being neutral.” Jadi, pendidik harus memihak pada kaum kesrakat seperti anak-anak Asmat di Papua. Masih banyak daerah terpencil seperti Asmat yang memerlukan tenaga relawan untuk mendidik bocah-bocah.

Ini diperlukan karena tak terjangkau pendidikan nasional. Di sini diperlukan tenaga yang rela “tidak digaji.” Pemerintah harus lebih banyak mencurahkan perhatian pada kasus-kasus daerah terpencil tersebut.

Diresensi Achmad FH Fajar, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma