Sistem Pendidikan Jangan Disamaratakan


1

Generasi muda pedesaan cenderung memburu pekerjaan kekinian sesuai dengan era modernisasi. Padahal sebaiknya mereka mengembangkan ekonomi berbasis alam dan kerakyatan di daerahnya masing-masing.

“Sistem pendidikan seharusnya tidak disamaratakan antara warga perkotaan dan pedesaan. Seharusnya di pedesaan masyarakatnya dilatih untuk mengembangkan desanya secara langsung. Sehingga perekonomian desa menjadi lebih maju,” kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, di kediamannya pada Kamis 29 Juni 2017.

Menurut Dedi hal tersebut malahan menjadi faktor penyebab kesenjangan sosial. Penduduk desa malah mencoba pergi ke perkotaan hanya untuk mencari kerja. “Hal ini tidak salah, tapi setidaknya jangan dulu ke kota kalau desanya masih memiliki banyak potensi,” ujarnya.

‎Dedi pun menyatakan gagasan tata ruang dan lingkungan saat ini tidak dibuat secara kultur. “Kondisi ini akan saling merugikan, salah satunya pada faktor ekonomi. Sekarang biaya hidup kita termasuk tinggi, penyebabnya sistem perekonomian tidak disesuaikan dengan lingkungan,” ucapnya.

Dedi juga menambahkan Indonesia adalah negara sangat kaya. Apalagi jika sistem pembangunannya menggunakan kultur. “Dengan begitu masyarakat akan lebih maju perekonomiannya,” ujarnya.

Contohnya, lanjut Dedi, di daerahnya terdapat ciri khas Sate Maranggi. Sate Maranggi ini merupakan makanan warisan dari masyarakat sekitar.

“Misalkan di Purwakarta ada Warung Sate Maranggi Hj Yeti yang sudah dikenal. Lokasinya di daerah Bungursari, dan warga di sekitarnya akan mendapatkan manfaat pengembangan ekonomi sesuai dengan kultur daerah itu. Para warga di daerah itu bisa menyuplai kebutuhan warung sate tersebut dengan cara penataan regulasi oleh pemerintah desa setempat,” ujarnya.

Pemerintah desa, lanjut Dedi, seharusnya membuat perencanaan untuk regulasi kebutuhan warung makan tersebut. Misalkan, ada warga yang menyediakan bahan baku sate. Diantaranya daging domba atau sapi, gula merah, cabai, dan lainnya.

Hal itu akan mampu mengembangkan ekonomi kerakyatan. Hal ini dikarenakan tiap harinya terjadi perputaran uang dalam satu jenis warung makan tersebut.

“Kalau itu dilaksanakan peningkatan kesejahteraan terjadi, minimal tak ada warga yang kekurangan atau tak bisa makan di wilayah itu. Itu dikarenakan memiliki pekerjaan dan penghasilan dari regulasi rumah makan bu Hj Yeti. Terpenting lagi kualitas harus diutamakan,” ujarnya.

Penerapan Kultur

Konsep pengembangan ekonomi sesuai dengan kultur itu dalam budaya Sunda sering disebut “Ngagoreng Lauk ku Gajihna”. Atau menggoreng ikan dengan lemak ikan itu sendiri tanpa harus pakai minyak goreng.

Artinya, kata Dedi Mulyadi, Kita tak perlu memakai dan mencari sesuatu di luar daerah. Tetapi bisa memanfaatkan potensi daerah itu sendiri.

“Ini baru contoh hal kecil dari kekayaan alam dan budaya di Indonesia. Lalu bagaimana kalau semua potensi bisa termanfaatkan dan diseriuskan melalui sistem pemerintahan,” ujarnya.

Salah satu kendala selama ini adalah sistem pendidikan yang tak aplikatif sesuai dengan kultur tiap daerah. Selama ini anak tak mendapatkan pendidikan keterampilan sejak dini. Karena selama ini, murid di sekolah lebih diutamakan mendapatkan pendidikan materi daripada aplikasi.

“Sistem pendidikan yang tidak sesuai. Anak lebih diutamakan dapat materi daripada aplikasi. Misal seperti di Jepang, sekolah sudah menerapkan pendidikan aplikatif, anak suka masak dididik melalui sistem pendidikan sampai menjadi koki profesional,” katanya.