Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, hasil riset lembaganya harus memenuhi tanggung jawab untuk memecahkan masalah bangsa atau masyarakat. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Enny Sudarmonowati menyebutkan ada beberapa tanggung jawab itu.
Ia menyebutkan di antaranya pertama, science for science yang memang untuk menunjang ilmu pengetahuan termasuk penciptaan teori baru, memperbaiki teori terkait ilmu pengetahuan lainnya. Kedua, science for scientific community yaitu melakukan pertemuan ilmiah dan mempublikasikan hasil penelitian di seminar, prosiding, baik nasional maupun internasional, dan jurnal ilmiah.
“Sedangkan ketiga adalah science for stakeholders yaitu pemerintah, industri, dan masyarakat,” ujar dia kepada Republika belum lama ini.
Ia menegaskan riset lembaga ilmu pengetahuan atau lembaga penelitian kini sudah mengarah melakukan penelitian untuk pemecahan masalah. “Jadi, penelitian yang dapat memecahkan masalah bangsa atau masyarakat. Bila berdasarkan masalah bangsa, pasti akan dibaca dan dipakai,” ujar Enny.
Oleh karena itu, kata dia, penelitian unggulan LIPI juga untuk memecahkan masalah seperti pangan, energi, dan pengembangan wilayah yang terkait pengelolaan multipihak. Ia menambahkan bentuknya bukan hanya publikasi semi populer tapi juga produk-produk atau prototipe dan rekomendasi-rekomendasi ke pemerintah dan lainnya.
Sehingga, Enny mengatakan, publikasi memang dituntut tetap harus ada yaitu publikasi ilmiah dan bila dimuat yang membaca adalah dunia. Ini terutama tentang kekayaan alam dan keragaman hayati dan lingkungan unik Indonesia yang diklaim pasti digunakan orang sebagai acuan.
“Apalagi LIPI selalu mengengeluarkan rekomendasi mencapai 60-80 setahun yang berbasis hasil penelitian, termasuk untuk pertukaran dan perdagangan fauna dan flora dan penelitian menggunakan makhluk hidup nonmanusia (kecuali aspek sosekbud),” ujarnya.
Bahkan, ia menyebut pembuatan proposal penelitian sudah bersama dengan industri sehingga hasil penelitian bisa langsung digunakan karena diperlukan oleh swasta. Namun, Enny mengakui, penelitian dapat menghasilkan untuk menjawab permasalahan yang hoslistik memang diperlukan penelitian yang multidisiplin yang memerlukan dana besar.
“Sehingga, dana penelitian seringkali dalam jumlah kecil dan tidak multi years sehingga yang bisa dilakukan hanya riset kecil-kecilan yang kurang bisa memecahkan masalah karena tidak integral dan holisitik,” katanya.
Sebelumnya,Guru besar dari Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf menilai, saat ini pengelolaan dana riset masih sangat birokratif. Menurutnya, hal tersebut menjadi alasan banyaknya peneliti yang melakukan penelitian hanya untuk mengejar titel saja.
Selain itu, dengan anggaran riset yang minim, peneliti pun kerap dipersulit dengan aturan administrasi. Sehingga, tidak sedikit peneliti yang lebih fokus pada adminitrasi ketimbang hasil dari risetnya. “Administrasi keuangan sangat rumit. Kadang, orientasi penelitian jadi lain. Karena pertanggung jawaban itu harus ada dalam kertas. Nah bisa jadi itu kertas nya bohong semua,” kata Maswadi.
Mawardi juga tidak menampik, saat ini banyak sekali riset-riset yang hanya berakhir menjadi ‘kenangan’ saja. Bukan hanya tidak bermanfaat, tapi riset tersebut tidak pernah dibaca.
Sumber: nasional.republika.co.id