Berbagai kendala dihadapi dalam pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), seperti kekurangan dosen, dosen belum S2, hingga kekurangan sarana prasana yang semua ini bermuara pada sulitnya mendapat akreditasi baik. Sehingga, untuk meningkatkan mutu pendidikan perguruan tinggi, dibutuhkan keberpihakan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Anggota DPR Sri Meliyana mengatakan, jika Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak mampu menyangga seluruh komponen pendidikan, kewenangan tersebut diserahkan saja kepada Pemerintah Daerah (Pemda).
“Pemda itu punya dana untuk membangun asrama, atau memperbaiki sekolah-sekolah. Tapi tidak ada nomenklatur di Pemda untuk melaksanakan itu. Ketika mereka mengerjakan yang tidak ada dalam nomenklatur, mereka bisa terperangkap dalam hukum. Maka saya katakan, yang bisa menyelesaikan pendidikan kita cuma keberpihakan terhadap pendidikan,” tegas politisi Gerindra itu saat pertemuan antara Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR RI dengan civitas academica perguruan tinggi se-Kalimantan Tengah, di Universitas Palangka Raya, Kalteng, Kamis (01/02/2018).
Lebih lanjut politisi asal dapil Sumatera Selatan itu mengatakan, bisa juga kewenangan Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipindahkan ke Pemerintah Provinsi, sehingga Pemprov bisa membantu menyelesaikan permasalahan pendidikan.
“Sebenarnya ini adalah permasalahan klasik. Setiap kami kunjungan ke daerah, laporannya pasti ini. Lalu kapan ini bisa diselesaikan? Hal itu tergantung keberpihakan pemerintah dalam aturannya. Padahal kita tahu, akreditasi saat ini merupakan cerminan mutu pendidikan,” jelas Meli.
Persoalan anggaran
Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra menyoroti sulitnya perguruan tinggi di Kalteng untuk mendapatkan akreditasi. Salah satu faktor yang memyebabkan permasalahan itu adalah anggaran untuk perguruan tinggi yang kecil, sehingga hal itu menyisakan persoalan.
Komisi X DPR meminta masalah ini menjadi skala prioritas bagi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk diselesaikan.
“Kita tahu anggaran pendidikan itu 20 persen dari APBN. Kalau itu kita hitung 20 persen itu harusnya Rp 400 triliun. Tapi yang ada untuk Kemenristekdikti hanya Rp 42 triliun. Tentu ini menyisakan suatu persoalan,” tegas Sutan.
Politisi F-Gerindra itu menduga, hal itu juga yang menyebabkan peringkat Indonesia dalam mengembangkan vokasi di era global dan persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Indonesia mendapat peringkat 87 dari 127 negara.
“Malaysia mendapat peringkat 37 dan Thailand peringkat 47. Ini terbukti karena anggaran untuk meningkatkan vokasi kita hanya 0,2 persen, sementara di negara lain sudah 2,5 persen,” keluh politisi asal dapil Jambi itu.
Untuk itu, Sutan meminta pemerintah mengambil langkah lebih kongkrit terutama terhadap biaya pendidikan. Pasalnya, alokasi besarnya anggaran untuk pendidikanlah yang membuat Indonesia semakin bermartabat.