Prahara Akreditasi BAN PT


ilustrasi-wisuda_20170922_003638
Ilustrasi

Oleh Muhammad Yasar

SELAMA beberapa bulan terakhir penulis dihadapkan kepada beberapa keluhan alumnus (lulusan) perguruan tinggi, terkait dengan efek akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) yang dipandang sangat merugikan mereka. Kasus pertama, muncul dari seorang alumnus yang lulus cumlaudenamun harus pupus harapannya untuk dapat berkompetisi sebagai calon pegawai negeri pada satu instansi pemerintah yang berkedudukan di level pusat. Instansi yang sengaja di-hiddennamanya ini menerima calon pegawai dengan menjadikan akreditasi universitas dan program studi sebagai prasyarat. Tidak tanggung-tanggung, alumnus yang dikehendaki pada jalur dimaksud adalah lulusan cumlaude berakreditasi “A”. Tentunya tanpa memenuhi butir tersebut jangan coba-coba mendaftar.

Kasus kedua, disampaikan oleh seorang alumnus yang berprofesi sebagai staf pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta. Beliau jadi terhalang peluang studinya akibat akreditasi juga telah dijadikan prasyarat dalam seleksi beasiswa. Dan, kasus ketigapula dengan nada yang sama, harus pasrah menerima kenyataan tidak bisa mengikuti program pendidikan lanjutan yang berhubungan langsung dengan sistem karier, akibat adanya prasyarat akreditasi yang tidak mampu dipenuhi. Penulis haqqul yakin ada sederet kasus yang serupa tapi tak sama sedang melanda sejumlah anak negeri atas kebijakan yang tidak berkebaikan ini. Ada trend baru yang berdalih kompetisi berkualitas dengan menjadikan nilai akreditasi perguruan tinggi sebagai indikatornya.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menggugat sistem akreditasi perguruan tinggi yang selama ini telah dilakukan oleh BAN PT sesuai amanah UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Karena jelas di dalam Permenristekdikti No.32 Tahun 2016 sebagai turunan dari UU tersebut telah disebutkan bahwa tujuan dari akreditasi perguruan tinggi adalah untuk menentukan kelayakan program studi (prodi) dan perguruan tinggi berdasarkan kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi, dan menjamin mutu prodi dan perguruan tinggi secara eksternal baik bidang akademik maupun non akademik untuk melindungi kepentingan mahasiswa dan masyarakat. Artinya, akreditasi merupakan satu tool untuk memastikan kelayakan dan menjamin mutu sebuah prodi dan perguruan tinggi. Yang menjadi masalah kemudian adalah ketika nilai akreditasi mulai dihubung-hubungkan dengan syarat-syarat di luar seperti beberapa kasus di atas.

Diskriminatif
Mencermati fenomena di atas dari perspektif alumnus, jelas kenyataan seperti ini merugikan dan terkesan diskriminatif. Dianggap merugikan karena berpotensi menghambat masa depan para alumnus, jika ia dilahirkan dari rahim prodi atau perguruan tinggi yang rendah nilai akreditasinya. Hal ini kemudian dipandang sebagai sesuatu yang tidak fair karena: Pertama, ketika memilih program studi atau perguruan tinggi pada awal kuliah mereka tidak pernah tahu menahu soal akreditasi ini. Barangkali jika calon mahasiswa tahu, maka dapat dipastikan tidak akan ada yang mau berkuliah di tempat yang tidak berakreditasi dengan baik.

Kedua, walau mereka (mahasiswa/alumnus) termasuk dalam standar penilaian borang akreditasi dan ikut terlibat untuk dinilai namun mereka bukanlah yang bekerja untuk mewujudkan nilai akreditasi tersebut. Akreditasi adalah tugas administratif para pengelola prodi atau perguruan tinggi yang nilainya sangat bergantung kepada kepiawaian dan kemampuan pengelola dalam memberikan dan menghadirkan infomasi dan data. Nah, jika nilai akreditasi rendah kira-kira siapa yang bertanggungjawab? Haruskah hasil kerja orang lain menjadi prasyarat bagi orang lain?

Logika sederhananya mengapa yang dosa orang tua harus dipikul oleh sang anak. Padahal, seharusnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang individu juga merupakan penilaian yang objektif, bukan subjektif. Jika yang melamar sang anak, maka prasyarat yang semestinya disyaratkan haruslah yang berhubungan langsung dan bersifat personal, bukan sebaliknya. Idealnya, syarat yang diberikan adalah nilai Indek Prestasi Komulatif (IPK), karena nilai tersebut jelas mencerminkan hasil usaha dan kualitas personal.

Di sisi yang lain kebijakan seperti ini juga terkesan diskriminatif. Bagaimana tidak, diakui atau tidak, disadari atau tidak, hal seperti ini bisa saja menimbulkan syakwa sangka. Harus kita akui bahwa sebenarnya standar mutu pendidikan kita belumlah seragam. Walaupun sama-sama berakreditasi A namun yang sebenarnya kualitas dan fasilitasnya tidaklah sama. Kalaulah disamakan maka dapat dipastikan perguruan tinggi di daerah tidak akan sebaik di pusat. Sementara kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya sangat ditentukan oleh kualitas dan fasilitas perguruan tinggi. Kalau tidak percaya kita boleh coba menukar mahasiswa yang kuliah di pulau Jawa dengan luar pulau Jawa pasti hasilnya juga akan berbeda. Mahasiswa yang dapat kesempatan kuliah di pulau Jawa pasti memiliki kualitas yang lebih baik dibanding dengan luar Jawa. Dengan demikian sistem akreditasi yang sedang berlangsung memiliki potensi yang diskriminatif. Artinya, orang daerah akan sulit menembus peluang di pusat karena kemungkinan nilai akreditasinya tidak sebaik mereka yang berada di pusat.

Bukankah dengan demikian kita telah membungkam peluang personal generasi bangsa? Padahal harusnya segenap anak bangsa memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk berkiprah lebih baik untuk bangsanya. Belum tentu personal yang dihasilkan oleh perguruan tinggi yang tidak terakreditasi dengan baik lebih jelek kualitasnya, dibandingkan dengan yang terakreditasi karena hal tersebut sangat bergantung kepada peluang dan kesempatan saja.

Mengundang persoalan
Persoalan akreditasi ini bukan tidak mungkin mengundang persoalan baru. Banyak alumnus yang frustrasi akibat terkebiri kesempatannya untuk maju dan berkembang. Orang tua pun menyesal menyekolahkan anak-anak mereka di perguruan tinggi, toh pada akhirnya juga tidak bisa kemana-kemana. Nah, bayangkan jika hari ini semua yang merasa dirugikan ini, kemudian memprotes lembaga pendidikannya karena anggapan telah bekerja tidak becus, sehingga berakibat kepada kerugian materil dan immateril, apa yang terjadi?

Untuk itu, menurut hemat penulis: Pertama, seyogyanya institusi pemerintah termasuk swasta tidak menjadikan nilai akreditasi sebagai prasyarat dalam penerimaan pegawai/tenaga kerja atau proses seleksi lainnya karena akreditasi merupakan indikator kualitas perguruan tinggi bukan alumnusnya. Meskipun kualitas perguruan tinggi juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap alumnus. Kalaupun nilai akreditasi harus juga dibubuhkan, maka bijaknya juga mengikutsertakan syarat personal seperti IPK. Perlu ketentuan yang lebih fair, seperti contoh untuk lulusan terakreditasi A minimal IPK-nya 2,75, akreditasi B minimal IPK-nya 3,00 dan akreditasi C minimal IPK-nya 3,5. Sehingga dengan demikian ada makna hasil usaha dan kualitas personal disana yang turut berkontribusi.

Kedua, pemerintah dalam menelurkan kebijakan harusnya tidak paradoks, perlu dikaji dan dipastikan terlebih dulu antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain tidak mengandung perlawanan dan merugikan orang banyak. Kebijakan mensyaratkan nilai akreditasi PT ini belum layak dilaksanakan saat ini apalagi berlakunya terhitung mundur. Umumnya syarat tersebut menyebutkan nilai akreditasi pada saat yang bersangkutan diluluskan. Sementara sistem akreditasi ini walau telah lama diterapkan namun baru membaik dalam beberapa tahun terakhir ini saja. Kalau lulusan tidak berakreditasi tidak diberikan kesempatan, kapan pula mereka bisa diakreditasi dengan baik, bukankah kesuksesan para lulusan juga masuk dalam standar penilaian?

Ketiga, ke depan, kalau ingin menerapkan kebijakan seperti ini diharapkan pemerintah lebih fair. Dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru harus tercantum nilai akreditasi setiap prodi atau perguruan tinggi, jangan ditutup-tutupi walaupun risikonya akan banyak lembaga pendidikan yang tidak memenuhinya akan gulung tikar akibat tidak ada peminat. Pemerintah harus tegas menindak, bahkan menutup lembaga-lembaga yang demikian, karena dapat dipastikan bahwa yang akan dihasilkan nantinya hanya masalah.

Dengan demikian kita berharap lembaga pendidikan tinggi, baik program studi maupun perguruan tinggi kita akan menjadi lebih berkualitas dengan para lulusan yang berkompeten, sehingga mampu meningkatkan daya saing bangsa di mata dunia. Pendidikan maju, Indonesia pasti jaya! Amin.

Dr. Muhammad Yasar, S.TP., M.Sc., Dosen Prodi Teknik Pertanian/Ketua Dewan Penasihat Ikatan Alumni Teknik Pertanian (Ikateta) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: yasar.unsyiah@gmail.com

Sumber: Tribun News Aceh