Dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, siapapun boleh terlibat. Tidak melulu bertumpu pemerintah, pihak swasta pun boleh.
Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, aspek pertama dan yang paling mendasar adalah soal akses, yakni memastikan setiap warga negara bisa mengakses pendidikan. Pintu-pintu perguruan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, harus terbuka kepada semua warga Negara.
Hak warga negara untuk mendapat pendidikan, sebagaimana dimandatkan Konstitusi, tidak boleh tercegat oleh diskriminasi dan perlakuan khusus, apalagi karena faktor biaya. Begitu juga dalam mengakses pendidikan tinggi.
Dalam konteks itu, kehadiran perguruan tinggi swasta diharapkan bisa memperlebar pintu akses pendidikan tinggi di Indonesia. Logikanya, semakin banyak perguruan tinggi, maka daya tampungnya juga semakin banyak. Dengan begitu, semakin banyak pula orang yang terserap oleh perguruan tinggi.
Tetapi data justru menyajikan fakta lain. Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia masih rendah, yakni 31,75 persen pada 2017. Lebih rendah dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Ironisnya, APK yang rendah itu tidak sebanding dengan banyaknya Perguruan Tinggi di Indonesia, yang mencapai 4550 unit pada tahun yang sama. Dan dari 4612 perguruan tinggi di Indonesia, sebanyak 4198 atau 91 persen diantaranya adalah perguruan tinggi swasta.
Yang lebih ironis lagi, kendati jumlah perguran tinggi swasta mencapai 91 persen, tetapi daya tampungnya hanya 63 persen dari total mahasiswa di Indonesia. Bandingkan dengan perguruan tinggi negeri, yang jumlahnya hanya 9 persen dari total perguruan tinggi di Indonesia, daya tampungnya 37 persen.
Jika dirata-rata, daya tampung perguruan tinggi swasta hanya 721 orang mahasiswa per perguruan tinggi. Sedangkan daya tampung perguruan tinggi negeri mencapai 4.858 orang mahasiswa per perguruan tinggi. Kalau sejumlah kampus swasta besar bisa menampung ribuan sampai puluhan ribu orang mahasiswa, berarti ada banyak kampus swasta yang jumlah mahasiswanya tidak lebih dari 100-an orang. Bahkan mungkin ada kampus swasta yang tinggal papan nama.
Bandingkan dengan Tiongkok. Pada 2014, negeri tirai bambu ini punya 2.800 perguruan tinggi. Namun, di tahun yang sama, Tiongkok punya 37 juta mahasiswa. Artinya, dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu, bisa dihitung daya tampung perguruan tinggi di Tiongkok: kalau dirata-rata berkisar 12.857 orang mahasiswa.
Lantas, di mana letak masalahnya? Kenapa jumlah PTS yang sebegitu banyak tidak signifikan menaikan APK pendidikan tinggi di Indonesia?
Di sini muncul serentetan persoalan. Pertama, izin pendirian PTS tidak begitu ketat. Akibatnya, banyak PTS berdiri tanpa memenuhi syarat: jumlah program studi, jumlah dosen, dukungan lahan, dan sarana prasarana. Buktinya, seperti tahun 2017 lalu, ada 140 PTS yang ditutup oleh Kemenristekdikti karena terbukti abal-abal.
Kedua, meskipun jumlah PTS bertebaran, tetapi biaya pendidikannya terbilang mahal. Sebab, PTS memang mengandalkan pembiayaan pendidikan dan operasionalnya dari kontribusi mahasiswa. Hal ini yang mencegat warga negara, terutama yang berpendapatan rendah, bisa mengakses PTS yang ada.
Selain itu, penyebarannya pun tidak merata. Sebagian besar terkonsentrasi di pulau Jawa. Bayangkan, dari 4198 PTS di Indonesia, sebanyak 1883 atau 44 persen diantaranya berada di pulau Jawa.
Ketiga, bukan rahasia lagi, bahwa perguruan tinggi di Indonesia dijadikan lahan bisnis, mulai dari berbagai pungutan ke mahasiswa hingga jual-beli ijazah. Akibatnya, demi mengejar untung, banyak PTS berdiri meskipun tidak memenuhi standar layak.
Dan ini bukan isapan jempol. Tahun 2017 lalu, Kemeristekdikti mengancam akan mencabut izin 1000-an kampus yang tidak layak operasi (sumber: Jawa Pos).
Nah, buntut dari berbagai persoalan di atas adalah kualitas pendidikan tinggi yang memprihatinkan.
Data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) menyebutkan, dari 4500-an perguruan tinggi di Indonesia, hanya 1.131 perguruan tinggi yang terakreditasi. Sebanyak 50 perguruan tinggi mempunyai akreditasi A, 345 perguruan tinggi terakreditasi B, 736 perguruan berakreditasi C. Ironisnya, sebanyak 3.340 perguruan tinggi belum terakreditasi.
Sementara itu, dari 26.672 program studi, baru 2.512 program studi yang memiliki akreditasi A, akreditasi B sebanyak 9.922, dan akreditasi C sebanyak 7.280. Ada sekitar 5.000-an program studi tidak terakreditasi.
Mau tidak mau, dengan berbagai persoalan di atas, PTS perlu dibenahi. Syarat pendirian dan pemberian izin PTS harus diperketat, yang disertai dengan evaluasi reguler terhadap perkembangan PTS tersebut.
Ide merger PTS juga masuk akal, terutama PTS-PTS yang masih satu atap yayasan. Sementara yang tidak memenuhi syarat standar layanan akademik, dari jumlah Prodi, dosen, mahasiswa, sarana prasana (kantor, ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, sarana olahraga, dll), sebaiknya dicabut izinnya.
Bagaskara Wicaksono, kontributor berdikarionline.com
Catatan: sebagian besar data jumlah perguruan tinggi, PTS, jumlah mahasiswa dan daya tampung diambil dan diolah dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti): https://forlap.ristekdikti.go.id/
Sumber: pedomanbengkulu.com