Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menyiapkan instrumen khusus untuk dijadikan standar penilaian akreditasi politeknik. Instrumen tersebut segera diusulkan kepada Badan Akresitasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Menristekdikti Mohamad Nasir menuturkan, instrumen penilaian akreditasi untuk universitas dan politeknik harus berbeda.
Ia menjelaskan, selama ini, instrumen penilaian akreditasi untuk politeknik sama dengan universitas. Hal tersebut sudah tidak relevan karena kurikulum yang diterapkan di universitas dan kampus sangat berbeda. Politeknik menerapkan 30% akademik dan 70% praktik dalam metode pembelajarannya.
“Jadi tidak nyambung kalau instrumen penilaian akreditasinya hanya berbasis akademik seperti yang diterapkan untuk universitas. Jadi harus ada instrumen khusus, dan ini yang akan kami bicarakan dengan BAN-PT. Karena politeknik bukan akademik saja tapi ada vokasionalnya,” kata Nasir dalam Dialog Forum Direktur Politeknik Negeri se-Indonesia, Malang, Senin 12 Maret 2018 malam.
Ia menegaskan, perbaikan instrumen penilaian penting untuk ketepatan akreditasi perguruan tinggi. Menurut dia, penerapan instrumen yang sama membuat politeknik sangat kesulitan memeroleh akreditasi A. “Dari 65 perguruan tinggi yang terakreditasi A, hanya 3 dari politeknik. Saya kira ada Politeknik Manufaktur Bandung yang sudah pantas dapat akreditasi A, tapi ternyata sekarang masih B. Juga ada Politeknik Negeri Jakarta. Instrumen khusus ini nanti juga disesuaikan dengan kurikulum dan model pembelajarannya seperti apa,” katanya.
Siap kerja
Nasir menegaskan, pembenahan kurikulum dan akreditasi sangat penting untuk meningkatkan kualitas lulusan politeknik. Menurut dia, politeknik harus meluluskan mahasiswa yang siap kerja, bukan hanya siap magang. “Cara pandang masyarakat terhadap politeknik kedepan harus berubah. Selama ini politeknik seolah seperti perguruan tinggi kelas dua. Padahal, lulusan politeknik saat ini sangat kompeten dan dibutuhkan pasar kerja,” ujarnya.
Menristekdikti mengatakan, kebutuhan dunia industri menuntut kompetensi lulusan politeknik yang sesuai dengan learning outcome yang ada di politeknik. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah merancang program Multi Entry Multi Outcome (MEMO) bagi mahasiswa politeknik.
Ia menegaskan, mahasiswa dapat memilih berbagai alternatif perkuliahan yang memungkinkan mereka untuk langsung bekerja di industri dengan tetap dapat kembali lagi ke kampus. MEMO diharapkan dapat mempercepat kebutuhan industri dan memutus mata rantai kemiskinan. Jadi lulusan politeknik akan selalu siap kerja bukan siap training. “Tahun pertama misalnya, (mahasiswa) dapat sertifikat KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) level 3, terus mau bekerja, kembali lagi dia (ke kampus) itu bisa melanjutkan ke tahun kedua. Tidak ada DO (drop out), istilahnya zero DO,” ujarnya.
Ketua FDPNI Rahmat Imbang Tritjahjono menambahkan, kajian skema MEMO masih membutuhkan beberapa penyesuaian dan penyelerasan peraturan. Di antaranya penyesuaian kurikulum, instrumen penilaian BAN PT, pangkalan data pendidikan tinggi (untuk menjamin keabsahan ijazah), dan sebagainya.
“Instrumen yang digunakan BAN PT adalah instrumen pada akademik. Sementara politeknik aspek akademiknya hanya 30 persen, 70 persennya adalah praktek. Ini gak nyambung. Jadi harus ada instrumen khusus untuk penilaian politeknik,” ucap Rahmat.
Sumber: Pikiran Rakyat