Tekad Pande Putu Setiawan begitu besar untuk bisa berbagi bersama anak-anak di daerahnya, Kabupaten Bangli. Betapa tidak, ia yang lulusan S2 tergerak hatinya begitu tahu di daerah kelahirannya banyak anak kurang beruntung tak mengenyam pendidikan.
Alhasil, pada 2009 Pande membentuk Komunitas Anak Alam. Fokusnya adalah pendidikan baik formal maupun non formal kepada anak-anak kurang beruntung di Kabupaten Bangli. Kini, Pande telah memiliki 400 anak asuh yang hampir saban hari disambanginya.
Ia pun lega oleh sebab anak-anak di daerahnya kini mampu mengenyam dunia pendidikan. Di balik suksesnya Pande mengubah cara berpikir anak-anak di daerahnya akan pentingnya pendidikan, ia telah melewati haru biru berbagai kisah. Salah satunya ketika perpustakaan yang ia bangun dibakar oleh anak asuhnya sendiri.
Pande berkisah, setelah berhasil memetakan masalah yang dihadapi anak-anak di sekitaran Kintamani, ia memutuskan membuat perpustakaan untuk bocah-bocah berusia tak lebih dari 15 tahun tersebut. Perpustakaan berhasil ia bangun dengan susah payah. Berbagai buku cerita ada di perpustakaan yang ia bangun itu. Tujuannya untuk membangkitkan literasi anak asuhnya.
Awalnya, bocah-bocah itu mau datang dan membaca buku cerita anak-anak di perpustakaan yang dibuat dari kocek pribadi Pande. Suatu hari, Pande terkejut bukan main ketika datang ke perpustakaan yang dibuatnya. Buku-buku itu sudah menjadi abu dilalap api. Ia lantas mencari sebab api yang membakar perpustakaannya.
“Rupanya buku-buku itu dibakar oleh anak-anak. Saya tanya kepada mereka, kenapa kalian bakar? Mereka menjawab, kami butuh makan kak, bukan buku,”
Pande tersenyum. Ia tak marah sama sekali meski tak ada satu buku pun tersisa. Semuanya habis dilalap si jago merah. Pande memaklumi tindakan mereka. Ia segera melupakan hal tersebut dan kembali mengajak anak-anak itu bermain.
Pande sadar jika ekonomi merupakan hal krusial bagi anak-anak tersebut. Itu sebabnya mereka tak mengenyam pendidikan. “Saya tidak marah. Ya sudah, saya lakukan pendekatan lagi. Rupanya masih banyak hal yang harus saya lakukan sebelum mengajak mereka minimal gemar membaca,” tutur Pande.
Ia lantas memutuskan untuk menginap dari rumah ke rumah anak-anak tersebut. Beruntung, orangtua meraka mengizinkannya. Pande berjibaku dengan keseharian anak-anak itu yang biasanya membantu orangtua mereka di kebun.
“Saya berbulan-bulan hidup bersama mereka. Saya menginap dari satu rumah ke rumah lainnya. Saya menyelami betul kehidupan mereka untuk mengetahui lebih dekat kehidupan mereka dan apa yang harus saya lakukan,” katanya.
ecara psikologis, kebersamaan Pande yang cukup lama membuat mereka semakin dekat. Ada hubungan emosional yang terbangun. Pande melakukan pendekatan ekonomi kepada mereka. Ia mulai mengubah cara pandang tentang pendidikan. Upaya itu berhasil. Pelan-pelan, anak-anak mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi perbaikan kualitas hidup mereka.
“Jadi saya ubah cakrawala berpikirnya. Saya katakan, dengan pendidikan, kalian bisa mengubah kondisi ekonomi kalian sendiri. Apalagi di Kintamani ini destinasi wisata. Kalau kalian tidak memiliki pendidikan yang baik, kalian akan semakin terbelakang dan tertinggal,” ucap Pande menyadarkan bocah-bocah tersebut.
Alhasil, mereka mulai mau membaca. Pande pun tak masalah mereka membaca buku di ladang. Sesekali di atas pohon sambil menikmati sejuknya udara Kintamani. Lama kelamaan, anak-anak itu justru bertanya buku cerita baru kepada Pande, karena stok buku yang ada telah dibaca semua.
Pande senang. Upayanya berhasil. Ia bawakan lagi buku bermacam-macam cerita. Pande pun mulai mengajarkan mereka fotografi. Suatu ketika, Pande mengikutsertakan anak didiknya mengikuti lomba fotografi di Belanda. Hasilnya luar biasa. Anak asuh Pande mendapatkan juara. Dari sana, anak-anak mulai merasakan pentingnya dunia pendidikan bagi mereka. Hingga akhirnya kini Pande memiliki beberapa kelas belajar yang tersebar di rumah-rumah penduduk.
Sumber : Liputan 6