Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A (Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.)
Terlalu berlebihan membaca Dirjen Kemendikbud Hilmar Farid sebagai “otak baru” Partai Komunis Indonesia (PKI). Akun Instagram Hoax Crisis Center (HCC) Jawa Barat pun telah menyebut isu tersebut salah dan keliru.
Namun, Satu hal yang patut direnungkan kembali adalah pandangan politis Fadli Zon, yang mengatakan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid membela sejarah versi PKI, menyalahkan Orde Baru dan TNI, bahkan tidak mengakui PKI melakukan kudeta dan menjadikan PKI seakan-akan korban, pandangan Fadli zon tersebut Konon berdasarkan jejak digital (video) Hilmar Farid yang sudah beredar sebelumnya.
Sebenarnya, PKI adalah partai terlarang dalam TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966, bersamaan dengan larangan terhadap Komunisme, Leninisme dan Marxisme.
Pertanyaannya, apa itu “isme-isme” ini dalam kaitannya dengan Hilmar Farid? Salah satu jawaban dapat ditemukan dalam artikel ilmiah tulisan Hilmar Farid sendiri, berjudul “Indonesia’s original sin: mass killings and capitalist expansion, 1965-1966,” diterbitkan Inter-Asia Cultural Studies, Volume 6, Issue 1, 2005, halaman 3-16.
Pembaca akan disuguhi bagaimana Hilmar Farid meletakkan dirinya sendiri sebagai penganut gagasan yang diperjuangkan oleh Karl Marx, yakni konsep akumulasi primitif.
Suatu gagasan tentang privatisasi segala hal terkait produksi, sehingga pemilik dapat menciptakan uang melalui surplus tenaga kerja. Ini yang terjadi pada masa orde baru yang kapitalis, menurut Hilmar Farid. Karenanya, Orde Baru harus disalahkan atas segala bentuk eliminasi atas politik kelas pekerja, yang rumah dan tanah mereka dirampas, bahkan para pekerja ini harus dibunuh dan ditahan.
Kritik lain Fadli Zon tentang serangan Hilmar Farid pada TNI kembali terbukti, melalui tulisannya berjudul “Political Economy of Violence and Victims in Indonesia,” dalam Charles Coppel (ed.), Violent Conflicts In Indonesia: Analysis, Representation, Resolution, (London; New York: Routledge, 2006). Menurut Hilmar, serangkaian pembunuhan yang berlangsung dari 1983-1984 (Penembakan Misterius, PETRUS) bukan perkara yang betul-betul misterius, semua itu adalah rasa umum di mana pelakunya adalah militer sendiri di bawah rezim Suharto.
Dengan cara yang cukup lihai, politisi PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) membangun kritik terhadap Hilmar Farid dari sudut pandang lain. HNW tidak seperti Fadli Zon, yang meminjam tangan Orde Baru dan TNI untuk menggempur Hilmar. HNW lebih menekankan simbol berbeda, yakni penekanan pada nama-nama seperti Musso, Semaun, dan Aidit (tokoh-tokoh PKI) yang jauh lebih dipilih oleh Hilmar di Kamus Sejarah Indonesia ketimbang nama-nama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Mas Mansur (tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah), Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara (tokoh-tokoh Masyumi) yang dihilangkan di kamus sejarah Indonesia tersebut.
Sudah tentu HNW golongan Islamis, Fadli Zon golongan nasionalis. Sementara Hilmar pengusung “isme” dari Karl Marx. Bahkan, karyanya yang lain mengusung perjuangan kelas, “The Class Question in Indonesia Social Sciences,” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (ed.), Social Science and Power in Indonesia, (UK: Equinox Publishing, 2005), halaman 167. Cara berpikir yang cenderung pada Karl Marx dan ide-ide yang mengusung kelas, semua itu memberi amunisi pada Fadli Zon yang nasionalis dan HNW yang Islamis. NU sendiri adalah salah satu korbannya.
Hal ini semua mengindikasikan ada unsur kesengajaan, karena lahir dari akar persoalan kebangsaan yang panjang yaitu latar belakang pemikiran Hilmar. Juga bukti Persaingan antara Islamis, Nasionalis, dan Komunis di Indonesia belum betul-betul reda. Walaupun secara kasat mata wajah-wajah orang yang Islamis, Nasionalis, dan Komunis sulit dibedakan satu sama lain. Tetapi, bagi pihak yang dirugikan, seperti NU, segala persaingan itu masih nyata di depan mata. Ini betul-betul “kado pahit” bagi NU.
Kado Pahit bagi NU bukan semata karena nama-nama pendiri organisasi besar ini dihapuskan dari sejarah. Bukan juga Hilmar Farid menyinggung perasaan kelompok nasionalis dan Islamis. Bagi NU, perpecahan sesama putra-putri bangsa ini adalah jauh lebih menyakitkan. Dendam lama dan permusuhan lama antara Nasionalis, Komunis, dan Islamis hingga hari ini belum juga usai.
Penghilangan nama-nama tokoh NU dari Kamus Sejarah Indonesia hanya trigger kecil, permainan recehan, upaya test case situasi terkini di lapangan. Hilmar Farid hanya “wayang” yang dimainkan di atas pentas pagelaran. Wayang yang mewakili gagasan Marxisme dan perjuangan kelas, yang terbit 2016 dan bertepatan dengan pengangkatan dirinya sebagai Dirjen Kemendikbud. Kali ini, pentas wayang ini menyasar tokoh besar yang sudah wafat 76 tahun silam.
Jika pun cita-cita utama jiwa raga Hilmar Farid adalah keadilan kelas dan gerakan anti kapitalisme, maka tidak perlu menggunakan Marxisme. Supaya tidak melanggar TAP MPRS 25/1966. Lupakan saja seluruh gagasan impor dari Marx, yang kebetulan berdarah Yahudi itu. Lihatlah kiyai-kiyai NU di kampung-kampung, yang hampir 24 Jam mendampingi masyarakat kecil, mereka tidak butuh pujian sebagai intelektual dengan segudang teori ilmiah yang rapuh, mereka tidak butuh karya ilmiah untuk menjelaskan pengabdiannya membela rakyat. Dengan menghilangkan Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, sama saja dengan tindakan melecehkan “perjuangan kelas” versi Kiyai-kiyai Tradisional.
Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari bukan semata-mata figur historis yang pernah hidup dalam sejarah. Beliau adalah teladan hidup, warasatul anbiya’, guru yang menjadi mata air inspirasi perjuangan, untuk urusan dunia dan akhirat. Jika jiwa raga Hilmar memang seperti terkandung dalam tulisan-tulisannya yang dikutip di atas, maka kita sebagai warga Nahdliyyin tidak butuh Marxisme, dan cukup dengan seorang Hadratussyeiikh saja.
Selain itu, jika tujuan utama Hilmar Farid adalah anti-kapitalisme, maka Ulama Nusantara memiliki caranya sendiri. Salah satunya adalah pemikiran KH. Mas Mansur, alumni Al-Azhar Mesir. Tahun 1913 ketika Perang Dunia I meletus, beliau pulang ke Nusantara bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto. SI terkenal sebagai organisasi yang revolusioner, anti-kolonialisme. Kapitalisme lahir dari rahim kolonialisme. Belajar pada Kiyai Mas Mansur sudah cukup, dan tak perlu Marxisme.
Apalagi bicara pemikiran Mohammad Natsir, yang namanya juga dihilangkan dalam Kamus Sejarah Indonesia ini. Siapa yang tidak tahu bahwa Natsir pernah berkonflik dengan Ir. Soekarno. Natsir yang ingin menyatukan agama dan negara, Soekarno lebih pada pemisahan. Ditambah lagi, Soekarno berada di jalur Nasionalis, yang mengusung NASAKOM. Tentu, penghilangan nama M. Natsir dalam Kamus Sejarah kita adalah tindakan yang sangat memihak, dan itu dilakukan oleh Dirjen Kemendikbud yang karya-karyanya banyak mengusung Marxisme dan perjuangan kelas ala Barat.
Manusia tentu adalah mahallul khotha’ wan nisyan. Tempat salah dan dosa. Namun, luka lama yang sudah diupayakan agar sembuh, jangan diungkit-ungkit lagi. Keteledoran dapat dimaklumi. Permintaan maaf dapat diberikan ampunan, selama bukan perkara pidana yang menyangkut ranah hukum positif. Ketelodran dengan menghapus nama-nama tokoh besar dalam sejarah, yang secara simbolik menyinggung luka masa lalu, ini tidak boleh terulang lagi.
Terakhir, fenomena Hilmar Farid ini harus jadi pelajaran bagi kita semua, bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang harus lebih berhati-hati dalam merekrut jajarannya. Nadiem Makarim yang terkena getahnya dari tindakan Hilmar Farid, tentu harus bertindak tegas dengan segera mengganti Dirjen kebudayaan Kemendikbud. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber : https://m.tribunnews.com