Atdikbud KBRI Washington DC Dorong Generasi Muda Indonesia Ambil Studi Kesehatan Publik di Amerika S


Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Washington, D.C., Popy Rufaidah, menilai kualitas kesehatan nasional harus diiringi peningkatan jumlah ahli kesehatan masyarakat berwawasan global. Hal ini disampaikan Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Washington, D.C., Amerika Serikat, Popy Rufaidah dalam Serial Webinar Bincang Karya (Bianka) yang mengusung tema “Kebijakan Kesehatan Publik”.

“Saya harap, seri webinar kali ini dapat membantu meningkatkan minat mahasiswa ataupun kalangan akademisi dan peneliti tanah air untuk melanjutkan studi dan menjalin kerja sama riset dan pendidikan kesehatan dengan universitas di Amerika,” terang Popy ketika dihubungi secara terpisah, Kamis (18/11). Bianka ke-18 ini mengusung tema kebijakan kesehatan yang dipandu Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yodi Mahendradhata.

“Peluang studi bagi anak-anak bangsa dengan beasiswa bidang kesehatan publik terbuka lebar seperti pada School of Global Public Health, New York University, dan juga ke Bloomberg School of Public Health, Johns Hopkins University,” tutur Atdikbud Popy.

Hal ini diamini Emmanuel Agust Hartono, Direktur Keuangan dan Umum, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan, saat membuka acara Webinar Bincang Karya (Bianka) ke-18. “Upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas kesehatan terus diiringi peningkatan anggaran bidang kesehatan. Kebijakan anggaran kesehatan akan digunakan untuk memeratakan layanan kesehatan, mengurangi angka stunting, menguatkan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit (preventif), dan melanjutkan Program Jaminan Kesehatan Nasional,” terang Agust, Rabu (10/11).

Bianka diselenggarakan Kedutaan Besar Republik Indonesia Washington, D.C. bersama LPDP dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI). Bianka merupakan rangkaian webinar yang rutin digelar setiap minggu dengan tema variatif guna meningkatkan minat studi ke Amerika Serikat dengan beasiswa.

Jamal Wiwoho, Ketua MRPTNI yang juga Rektor UNS, pada kesempatan terpisah menjelaskan, “Pemerintah perlu menyadari pentingnya investasi di bidang kesehatan dan salah satu bentuk investasi tersebut adalah lewat pendidikan yang bertujuan menghasilkan para profesional bidang kesehatan berkualitas unggul dan siap melayani masyarakat.”

“Kami juga mendukung penelitian di bidang kesehatan masyarakat. Sebagai hasilnya, kami telah mendanai banyak produk dan penelitian seperti ventilator, mobile ventilator untuk pengujian Genose untuk Covid-19, bio-safety mobile lab, dan juga kerja sama dengan mitra peneliti individu dari Inggris, Jepang, Jerman, dan Thailand,” terang Agust.

Diharapkan Agust, jika ke depan Indonesia dapat bekerja sama dengan Amerika Serikat di bidang kesehatan lewat para generasi muda, khususnya para penerima Beasiswa LPDP, kontribusi aktif dan maksimal dapat makin diberikan pada bangsa dan negara.

Chair of the Department of Public Health Policy and Management, School of Global Public Health, New York University (NYU), Jose A. Pagan, mempresentasikan Program Master of Public Health (MPH) dan Program Doctor of Public Health (DPH) serta kesempatan kerja sama yang mungkin terjalin. Dikatakan Jose, kampusnya merupakan kampus dengan keberagaman. “Terbukti ada kurang lebih 39 bahasa diucapkan oleh mahasiswa internasional yang studi di NYU,” terang Jose.

Jose juga memberikan gambaran mengenai fasilitas yang ada seperti laboratorium, kesempatan karier potensial serta acara-acara kampus yang sangat menarik dan relevan terhadap pengembangan karier mahasiswa.

Terkait dengan penerimaan mahasiswa, menurut Jose, riwayat prestasi, alasan tertarik pada program MPH, dan rencana mahasiswa setelah lulus studi, merupakan aspek-aspek utama yang dinilai.

“Kami akan melihat apa yang telah dilakukan calon siswa, esai yang mereka tulis, dan mengapa mereka ingin mendaftar pada Program MPH. Ini penting, mengapa mereka tertarik dengan kesehatan masyarakat, apa yang ingin mereka lakukan setelah itu, juga surat rekomendasi ikut menentukan,” tambah Jose dalam sesi tanya jawab.

Sementara itu, Ketua Program MPH, Bloomberg School of Public Health, Johns Hopkins University, Marie Diener West, memberi gambaran singkat mengenai kurikulum dan kesempatan kerja sama riset yang mungkin dapat dilakukan.

Johns Hopkins University merupakan kampus pertama yang mempunyai Departemen Mental Health. Selain itu juga ada program dual degree yang dapat diikuti mahasiswa,” terang Marie. Mengingat seleksi yang kompetitif, Marie, yang merupakan Professor Biostatistika, menyarankan agar calon pelamar memperkuat keterampilan mereka serta mengingatkan pentingnya surat rekomendasi dan pernyataan pribadi yang mencerminkan alasan mereka mendaftar ke jurusan tersebut.

“Kami benar-benar ingin melihat keterampilan yang dibawa siswa, dan ingin mengetahui sejauh mana mereka akan berhasil. Itulah mengapa sangat penting untuk memiliki surat rekomendasi yang mendukung, serta pernyataan pribadi yang menunjukkan bahwa mereka tahu mengapa mereka ingin berada di program tertentu. Kami benar-benar ingin lihat secara holistik untuk memastikan bahwa siswa akan berhasil,” terang Marie.

Terkaitkemungkinan kerja sama, Marie memberikan beberapa arahan prosedur yang bisa ditempuh untuk dapat menjalin kerja sama antara universitas di Indonesia dengan universitasnya. “Untuk memulai kerja sama, pihak universitas di Indonesia dapat menghubungi saya secara langsung dan saya akan menghubungkannya dengan Wakil Dekan Bagian Akademik,” terang Marie.

Mahasiswa Indonesia Tak Ketinggalan Unjuk Gigi

Acara semakin menarik saat dimulainya sesi kedua dimana dua orang mahasiswa dari Indonesia mempresentasikan riset mereka. Roland A. Pirade, seorang sarjana kedokteran yang juga mahasiswa di program MPH NYU, memaparkan presentasinya yang berjudul “Healthcare Equity in diverse Population and The Covid-19 Pandemic”.

Roland fokus membahas kebijakan bidang kesehatan yang diterapkan Amerika Serikat dan Indonesia selama pandemi Covid-19. “Pengalaman saya saat mengikuti magang di salah satu rumah sakit di Amerika membuatnya mengerti mengapa negara maju ini rela mengeluarkan anggaran triliunan untuk fasilitas kesehatan masyarakat,” jelas Roland.

Rupanya, sambung Roland, ini dikarenakan Amerika ingin agar fasilitas kesehatan juga dapat dinikmati oleh semua pihak tanpa terkecuali termasuk para imigran ilegal atau undocumented immigrant. “Mereka menjunjung tinggi asas kesetaraan atau equity dalam pelayanan kesehatan mereka,” ujar Roland.

Roland menambahkan, “Equity yang dimaksud adalah supaya undocumented immigrant bisa mengakses tanpa harus takut. Atau orang-orang yang transgender yang misalnya badannya macho, badannya perempuan. (Negara) ini mendorong mereka untuk mengakses kesehatan. Jadi ini salah satu poin penting juga dari sistem kebijakan,” jelasnya.

Manajemen penanganan Covid-19 di AS, dikatakan Roland, ditempuh dengan beragam kebijakan seperti skrining di beberapa bandara, pembatasan aktivitas masyarakat, karantina, penetapan kedaruratan nasional, hingga pelaksaan vaksin yang terus digenjot.

Lebih lanjut, Roland mengatakan setidaknya ada empat hal yang dapat Indonesia pelajari dari kebijakan Amerika, yakni: memperkuat pelayanan kesehatan terutama di tingkat pertama, meningkatkan promosi dan pencegahan, memperbaiki regulasi, akses dan sistem pembiayaan serta kesiapan dalam menghadapi bencana atau wabah di masa yang akan datang.

Dana H. Satya, Sarjana Kedokteran dan juga Calon Master of Public Health, Johns Hopkins University, membagi pengalamannya mengapa mengambil studi MPH. Menurutnya, kesempatan kerja yang luas dan peluang kerja di tingkat lokal sampai internasional serta kebutuhan ahli di bidang kesehatan masyarakat yang meningkatlah yang menjadi alasannya.

Sementara terkait dengan memilih Amerika Serikat, Dana mengatakan, “Yang pertama adalah kurikulum studi di Public Health di Amerika itu sangat luas. Banyak sekali penjurusan dan konsentrasi yang bisa diambil. Lalu juga tentang masalah penelitian. Universitas di Amerika Serikat menduduki peringkat tertinggi karena dampak dari penelitian tersebut di dunia mulai dari tentang vaksin, tentang penyakit maupun yang lain-lain, dan juga banyak sumber daya dari universitas yang mendukung kegiatan pembelajaran kami,” tutur Dana.

Dana mengakui bahwa pandemi Covid-19 berdampak hebat pada sektor ekonomi, pendidikan, dan pelayanan kesehatan itu sendiri. “Tetapi saya senang, karena cakupan vaksinasi di Indonesia per 9 November sudah mencapai 60% untuk dosis pertama dan 38% untuk dosis kedua. Ini capaian yang cukup menggembirakan karena kita termasuk salah satu dari lima negara utama yang jumlah vaksinnya terbanyak di dunia,” jelas Dana.

Terselenggaranya Serial Webinar Bianka ini juga merupakan bentuk nyata dukungan Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Washington D.C terhadap Merdeka Belajar – Kampus Merdeka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang bertujuan menyiapkan para Pelajar Pancasila yang akan menjadi SDM Unggul bagi tanah air.

Sumber : Kemendikbud