Sepak Terjang Wikan Sakarinto, Orang Nomor 1 Ditjen Pendidikan Vokasi


Pria itu adalah Wikan Sakarinto yang diamanatkan pemerintah untuk menjadi Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Ristek sejak 8 Mei 2020.

Sebelum menjabat jadi orang nomor wahid di Ditjen Pendidikan Vokasi, Wikan merupakan Dekan di Program Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Di UGM, pria kelahiran 1975 ini menjadi dosen teknik permesinan. Kurang lebih 19 tahun, Wikan mengabdikan perjalanan hidupnya di UGM, tepatnya sejak 2001-2020.

Sebelum di UGM, dia sempat bekerja menjadi Manajer Produksi di PT Dipta Kriya selama dua tahun, yakni di tahun 1998-2000.

Ditjen Pendidikan Vokasi membawahi 6 unit di Kemendikbud Ristek, yakni Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan, dan Direktorat Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi. Kemudian ada Direktorat Kursus dan Pelatihan, Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri, dan Direktorat Kelembagaan dan Sumber Daya Pendidikan Tinggi Vokasi.

Kemudian ada Direktorat Kursus dan Pelatihan, Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri, dan Direktorat Kelembagaan dan Sumber Daya Pendidikan Tinggi Vokasi.

Sebagai orang nomor satu di Ditjen Pendidikan Vokasi, dia mengaku lulusan vokasi harus membutuhkan soft skill. Karena, hal itu yang paling dibutuhkan di dunia industri.

Selain soft skill, dunia industri juga membutuhkan karakter atau attitude dari lulusan pendidikan vokasi.

Sedangkan hard skill, tidak terlalu diutamakan. Pasalnya, hard skill akan tumbuh sepanjang masa seiring teknologi yang terus berkembang.

“Yang menjadi catatan, bagaimana menciptakan soft skill ke anak-anak pendidikan vokasi. Soft skill diciptakan dengan terpadu pada proses pembelajaran. Tidak ada mata kuliah soft skill tetapi melalui proyek based learning sejak semester 1,” ucap Wikan kepada Kompas.com, Selasa (23/11/2021).

Wikan menyebut, sekolah vokasi hingga SMK bisa dikatakan sudah percaya diri. Itu karena, mereka telah memperoleh soft skill saat pembelajaran.

Meski demikian, hal itu tidak seperti yang dibayangkannya.

Dia mencontohkan, pada mata kuliah pengelasan logam di Teknik Mesin, mahasiswa selama 90 jam dalam satu semester diberikan pembelajaran soal ngelas.

Namun yang dilas itu bukan pesanan real dari industri, hanya bagian simulasi saja.

“Jadi kalau itu cuma proyek-proyekan saja, ketika mahasiswa ngelas atau bikin animasi dan hasilnya jelek, dosen tetap bisa nyatakan lulus. Jika itu pesanan industri, kalau mengerjakan tidak sesuai dengan industri yang diinginkan, saat ditolak, ya tidak boleh lulus,” tegas suami dari Inggar Septhia Irawati.

Jadi hal itulah yang harus dibawa ke dalam kelas secara team work.

“Ada team work dan komunikasi dengan industri. Disitulah soft skill akan terbentuk. Selama ini, proyek based learning belum terlalu kuat. Ada sih pesanan industri, tapi lebih ke proyek dosen, mahasiswa bisa cari proyek sendiri,” jelas Wikan.