Itulah salah satu tujuan yang hendak dicapai sejak negara Indonesia ini didirikan. Salah satu jalan yang harus ditempuh tentu saja melalui pendidikan.
Setelah lebih dari 70 tahun merdeka, setidaknya telah 10 kali Indonesia gonta-ganti kurikulum pendidikan. Pergantian tersebut didasari tuntutan kebutuhan zaman, atau bahkan bersifat politis.
Pada masa Sukarno, pendidikan lebih diarahkan untuk pengembangan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat. Kala itu, bayang-bayang sistem pendidikan kolonial dan pemerintahan Belanda masih menghantui.
Oleh karenanya, kesadaran sebagai warga Indonesia yang melawan imperialisme dan neokolonialisme kemudian ditanamkan melalui sekolah, sebagai ideological state apparatus. Setiap materi pelajaran harus berhubungkait dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh peserta didik.
Tujuan yang menyasar ranah kognitif baru mulai dirancang dalam Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Sesaat sebelum runtuhnya rezim Orde Lama, pendidikan melalui kurikulum Rencana Pendidikan 1964 berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Politik pun bergejolak.
Memasuki era Orde Baru, kurikulum pendidikan dirancang –demi tujuan politis– untuk membentuk manusia Pancasila.
Pada masa ini, ranah kognitif menjadi sasaran utama pendidikan. Penguasaan akan materi dan pengetahuan, berbagai teori, dan wawasan, menjadi ukuran. Kritik terhadap sistem pendidikan di masa ini adalah teori-teori yang diajarkan tidak terkait dengan permasalahan faktual di lapangan.
Jarak antara pendidikan dan realita sosial pun meregang.
Indonesia kemudian mengenal sistem penilaian tiap caturwulan dan semester. Jam belajar yang semula 37 jam per minggu, meningkat menjadi 42 jam per minggu. Penambahan jumlah jam pelajaran itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan materi pelajaran yang semakin padat.
Metode belajar yang sangat melekat di masa ini adalah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang menuntut keaktifan siswa setelah diberi pemahaman.
Anda pasti akrab dengan cara belajar: guru menerangkan dan memberi contoh, kemudian siswa diberi penugasan. Namun karena berorientasi pada “hasil” yang sudah ditetapkan, maka jawaban harus sesuai dengan apa yang tertera dalam buku atau terucap dari mulut guru.
Pasca Reformasi 1998, kurikulum Indonesia berganti menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Orientasi terhadap hasil kompetensi tiap siswa makin nyata tampak.
Sejak 2004, ada lagi yang bernama kelas akselerasi. Mereka yang memiliki kompetensi lebih unggul, bisa mempercepat “proses belajar” selama mampu mencapai target hasil yang ditetapkan.
Pada 2006, di masa desentralisasi pendidikan yang ditujukan agar pendidikan berpusat pada potensi, lingkungan, dan kebutuhan peserta didik, kita mengenal sekolah berstandar nasional dan internasional. Peringkat sekolah menunjukkan ketidaksetaraan kualitas pendidikan di berbagai ruang pendidikan.
Kurikulum pendidikan kemudian berubah kembali.
Setelah sekian puluh tahun pendidikan hanya berpusat di ranah kognitif, Kurikulum 2013 berharap menyeimbangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Aspek penilaian pun berubah, termasuk didalamnya kreativitas dan perilaku siswa sehari-hari.
Perubahan dari Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013 ini merupakan salah satu kebijakan yang cukup membuat gaduh di masyarakat.
Itu belum semua. Kini ada lagi: persoalan jam pelajaran.
Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 23 Tahun 2017, jam pelajaran bertambah menjadi 8 jam per hari selama 5 hari, atau 40 jam per minggu.
Salah satu protes yang muncul dari warganet adalah, “Delapan jam kok kayak kerja aja yak?”
Bagi Arief Rahman Hakim, pakar pendidikan, berapa jam pelajaran bukan persoalan utama. Hal terpenting adalah metode pembelajaran yang mampu mengembangkan potensi tiap peserta didik. Potensi yang dimaksudnya bukan sekadar potensi kognitif, namun juga spiritual, emosional, sosial, dan jasmani.
“Untuk apa mempertahankan 6 hari belajar kalau tidak terjadi suasana pembelajaran yang memungkinkan berkembangnya potensi-potensi yang tadi,” ucapnya, Kamis (15/6).
Kelima potensi tersebut –spiritual, emosional, intelektual, sosial, dan jasmani– merupakan target pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
Persoalan yang patut dipertanyakan adalah, pertimbangan awal perubahan jam pelajaran tersebut?
“Kebijakan 8 jam di sekolah tak berorientasi pada anak, dan memukul rata tanpa melihat fakta kehidupan anak di Indonesia. Padahal Indonesia bukan Jakarta, dan Indonesia bukan hanya di kota,” kata Retno Listyarti, salah satu komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
Setelah 10 kali gonta-ganti kurikulum dan berbagai kebijakan, mau dibawa ke mana arah pendidikan kita?