Anies Baswedan: Pendidikan Indonesia Masih Jauh dari Beres, dan Guru Berkualitas Solusinya


01

JAKARTA- Posisinya di rak buku tidak terlupakan. Dibaca dan disimpan dengan rapi. Muatannya tak basi, dibaca beberapa bulan kemudian pun masih tetap relevan. Ya, itu Intisari.

“Majalah yang kini berusia 50 tahun. Saya sendiri suka membaca Intisari sejak SD, di rumah kami di Yogyakarta sempat berlangganan dan selalu menikmati bacaan berbobot yang penyampaiannya ringan,” kata Anies Baswedan dalam sebuah wawancara dengan Intisari untuk persiapan edisi 50 Tahun Majalah Intisari.

Waktu itu ia mengaku bahwa masih merasakan kesamaan nuansa dari dulu hingga sekarang: solid isinya, ringan penyampaiannya, dan relevan topiknya. Sebuah kombinasi yang cukup ampuh untuk sebuah majalah. Anies berharap berharap kualitas ini dipertahankan, angka 50 tahun untuk umur sebuah penerbitan adalah angkap historis dan fantastis.

Tidak banyak media di Indonesia yang bisa bertahan 50 tahun dengan konsistensi konten yang solid dan berbobot itu. Ini tentu prestasi bagi pengelola Intisari dan sebuah tanda bahwa di depan Intisari hadir pembaca yang terpuaskan. Sebuah kerja sama yang patut dicontoh dan dijadikan rujukan.

Kehadiran Intisari, sebut Anies, lebih dari sekadar bacaan bulanan. Ia membaca pesan-pesan pendidikan. Majalah yang bermuatan semangat pendidikan yang tinggi. Pendidikan memang tidak harus dibatasi ruang kelas. Dan media memang harus jadi pengganda semangat untuk mendidik dan mencerahkan.

Tidak kekurangan guru, sebarannya tidak merata

Keterdidikan adalah kunci, dan keterdidikan itu pula yang bisa membawa seseorang menuju pada kemajuan. Anies sering mengistilahkan bahwa pendidikan adalah eskalator bangsa yang akan mengusung perubahan, mewujudkan keadilan sosial. Merupakan instrumen yang tepat untuk mengerek status seseorang, dari segi sosial maupun ekonomi. Semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang, semakin terbuka peluang untuk lebih maju dan berkembang.

Pada giliran berikutnya, segera kita mafhum, pendidikan di Indonesia masih jauh dari beres. Perbaikan terus diikhtiarkan. Tanpa menafikan urgensi sistem atau fasilitas, guru adalah kunci untuk mencicil upaya membenahi kondisi pendidikan kita. Sebab, para guru yang hadir secara fisik di dalam kelas, berhadapan dengan para peserta didik.

Saat mencermati guru, ada dua kenyataan penting. Pertama, kualitas guru yang rendah, terutama di pelosok. Kedua, distribusi guru yang tidak merata. Secara statistik, tak terjadi kekurangan guru, rasio murid dan guru tak timpang. Tapi, wilayah perkotaan mengalami kelebihan pasokan guru, sementara daerah pedesaan sebaliknya. Melihat realitas ini, apa yang bisa dikerjakan?

Hal yang bisa dikerjakan adalah menghadirkan guru berkualitas. Solusinya, anak-anak Indonesia yang terdidik diajak menjadi guru SD di daerah terpencil. Tapi sekarang siapa yang mau menjadi guru? Apalagi di pelosok yang tanpa listrik dan tanpa sinyal telepon selular, apalagi seumur hidup. Masalah mungkin terpecahkan jika mereka tak menjadi guru seumur hidup, namun hanya setahun.

Baca kisah selengkapnya di Majalah Intisari edisi khusus ulang tahun ke-50, September 2013.

Sumber : Tribun news