Menteri Kemdikbud, Kalau Sudah Tak Mampu Mundur Saja


Pada sebuah sore diiringi rintik hujan yang syahdu kawan saya yang profesinya Go-Jek tiba-tiba bertanya : “Mas bagaimana menurutmu kebijakan Mas Nadiem?”.  Pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Pertanyaan itu bukan hanya spontanitas pertanyaan seorang warga bangsa, tetapi mewakili kita semua. Hari-hari setelah dilantik, kita dikejutkan oleh berbagai perbincangan pendidikan yang serba viral. Mulai dari kabar revolusi teknologi dengan pendidikan dalam bentuk layanan seperti SPP bisa pakai Go-PAY dan sebagainya. Masyarakat kita memang belum beranjak menjadi masyarakat yang mampu menahan, sedikit merenung lalu menghantam dengan gagasan. Apa yang diimpikan masyarakat melalui gojekan maupun meme itu  bisa menandakan dua hal: satire atau ekspektasi.

Antara Wacana dan Perubahan Sindiran masyarakat kepada Nadiem atau sebaliknya harapan yang terlampau tinggi untuk Mas menteri yang baru. Gebrakan atau gerakan Mas Menteri sampai sekarang belum juga nampak. Wacana perubahan memang dimana-mana, tapi belum mengubah substansi kebijakan yang merombak tatanan lama. Pidato Mas Menteri di hari pendidikan nasional itu semula dianggap sebagai sebuah konsepsi gagasan mengenai pendidikan oleh masyarakat. Padahal tidak, pidato hanyalah semacam kerangka konseptual yang mengejar momentum semata. Singkat kata, Mas Nadiem memang baru cari kejutan atau gebrakan apa yang akan dilakukannya selama lima tahun ke depan. Gerakan “Merdeka Belajar” pun seolah hanya obat penenang semata bagi guru maupun pelaku pendidikan. Kebijakan menolak UN, tiba-tiba diklarifikasi, hanya mengganti nama: assesment. Ketika ditanya lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah yang fasilitasnya kurang, dan dari segi kualitas masih rendah, bagaimana mengukur pencapaian pendidikannya? Mas Menteri masih mengkaji. Begitu pula ketika ditanya bagaimana meningkatkan mutu guru kita saat banyak yang tidak lulus PPG? Jawabannya tentu sama masih dikaji. Gebrakan RPP satu lembar yang dinilai memperingan guru, ternyata tidak berefek panjang pula secara sistemik dalam meningkatkan proses belajar.

Pada level pendidikan di perguruan tinggi, problem yang muncul adalah minimnya research dan minimnya dana. Perguruan tinggi kita sering gagal karena minim produktifitas. Tidak hanya memunculkan penelitian berkelas di Scopus, tapi juga belum banyak dosen yang secara akademik memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat sesuai dengan bidang yang dikaji. Ini jauh lebih penting daripada sekadar memasukkan PT atau perusahaan industri ke Perguruan Tinggi. Aduh Mak, kayak kebijakan SMK saja Mas Menteri. Ini Pendidikan, Bukan Go-Jek Ayolah Mas Menteri, kami sudah jengah, muak, dan bosan dengan kebijakan eksistensialisme yang seolah mengatakan: “ini loh, menteri baru dengan program-program spektakuler yang beda dengan menteri sebelumnya.” Ini bidang pendidikan Mas Menteri, bukan Go-Jek yang dikelola dengan spirit meraup untung lumayan. Tentu tidak mudah mengurus pendidikan yang menjadi sentral kebijakan pembangunan manusia. Akhirulkalam, bila memang sudah tak mampu, Mas Menteri mundur sajalah! Daripada terlampau banyak berwacana dan hanya mendulang viral dan quote yang manis-manis. Tentu kami tak ingin pendidikan jadi pemanis semata, sementara kami masih mengunyah pil pahit yang tak enak.

Sumber: Ibtimes