MEDAN- Permasalahan kejahatan sekolah sudah layak masuk ke ranah hukum untuk ditangani dan diperiksa kepolisian. Apalagi kasus ini telah menggunakan uang hingga puluhan juta rupiah.
Ketua Komunitas Lembaga Riset Publik (Larispa), Muhammad Rizal mengungkapkan, berbagai kejahatan dalam sekolah seperti adanya kelas siluman, kutipan-kutipan sudah terjadi hingga bertahun-tahun. Namun, hingga kini, tidak ada yang melaporkan lantaran kejahatan ini menguntungkan kedua belah pihak. “Jadi tentu tidak akan ada yang melapor ke polisi. Harusnya polisi yang melakukan pemeriksaan langsung, seperti yang dilakukan pada pejabat yang melakukan korupsi,” ujarnya di Medan, Rabu (3/8).
Kata Rizal, sudah menjadi rahasia umum saat ini, kalau ingin masuk sekolah negeri, terutama yang memiliki sarana dan prasarana terbaik, harus bersedia membayar lebih. Tak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan mencapai puluhan juta rupiah. “Yang curhat pada saya saja sudah lebih dari 5 orang. Ada yang bilang anaknya masuk ke sekolah negeri harus bayar Rp3 juta sampai Rp10 juta. Tapi karena sama-sama untung, tentu tidak ada yang mau melapor. Apalagi ke polisi,” tuturnya.
Terkait kejahatan di sekolah, Ombudsman RI Perwakilan Sumut sebelumnya menyatakan sudah turun memeriksa sekolah-sekolah yang dilaporkan masyarakat melakukan penyimpangan. Dan hingga hari kedua proses pemeriksaan sekolah, Rabu (3/8), sudah 7 sekolah dimintai klarifikasi terkait pelanggaran dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatera Utara Abyadi Siregar, mengatakan, ketujuh sekolah tersebut yakni SMKN 8, SMAN 10, SMAN 4, SMKN 5, SMAN 15, dan SMPN 23 Medan, serta MAN 1 Medan. Sementara dua sekolah lagi yakni SDN Percontohan Jalan Sei Petani dan SMPN 4 Medan, belum dapat dimintai keterangan karena kepala sekolah atau pihak yang berkompeten memberikan keterangan tidak berada di sekolah.
Abyadi menjelaskan, klarifikasi tersebut dilakukan untuk mengetahui benar tidaknya terjadi kecurangan selama proses PPDB, sebagaimana yang dilaporkanmasyarakat. Danternyata, sebagian besar dari laporan tersebut benar adanya. Seperti pungutan uang pembangunan dan penjualan seragam sekolah. Di SMKN 8 misalnya, terjadi penjualan seragam.
Sedangkan terkait laporan pembayaran senilai Rp7 juta untuk masuk ke sekolah tersebut, hal itu dibantah pihak sekolah. Kemudian di SMAN 10, juga terjadi penjualan seragam sekolah dan pungutan uang pembangunan senilai Rp1.570.000, juga biaya insidental sebesar Rp500.000 dikalikan 266 siswa. Selanjutnya di SMAN 4 Medan, yang dilaporkan menerima siswa melebihi kuota, Ketua PPDB yang juga Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan yang menerima tim Ombudsman T Nainggolan menjelaskan tidak ada penerimaan siswa “siluman”.
Jumlah siswa yang diterima di sekolah itu sudah sesuai kuota yakni 416 orang. Namun, penjelasan T Nainggolan itu jauh berbeda dengan temuan anggota DPRD Medan yang menemukan ada 4 kelas siluman. “Kalau benar keterangan wakil kepala sekolah itu, berarti dia memberikan keterangan bohong kepada lembaga negara, dan dia bisa diproses secara hukum,” kata Abyadi.
Pemeriksaan selanjutnya, kata Abyadi, di SMAN 15 Medan ditemukan adanya penambahan siswa melebihi kuota sebanyak 94 orang. Dan dari klarifikasi Ombudsman, pihak sekolah mengatakan itu sudah diketahui dan disetujui dinas pendidikan mengingat tingginya minat masyarakat untuk masuk ke sekolah tersebut. Selain itu, SMA Negeri 15 juga menjual seragam sekolah meskipun ada pilihan siswa boleh membeli seragam di luar sekolah.
Kemudian di SMPN 23 Medan, ditemukan penjualan seragam dan siswa titipan sebanyak 10 orang. Abyadi mengatakan, proses pemeriksaan ini masih terus akan berlanjut sampai Kamis (4/8). Hasil dari pemeriksaan dan klarifikasi tersebut nantinya akan ditabulasi dan dikaji untuk menjadi sebuah saran yang akan disampaikan kepada wali kota Medan agar diambil sebuah langkah perbaikan penyelenggaraan pendidikan di Kota Medan.
Pantauan KORAN SINDO MEDAN ke SMAN 4 Medan, kepala sekolah dinyatakan sudah lama tidak tampak hadir ke sekolah. Seperti diungkap oleh sekolah guru, yang menyatakan sudah sejak tahun pelajaran baru dimulai, dirinya tidak pernah melihat kepala sekolah.
“Sudah sejak lebaran saya tidak melihatnya (kepala sekolah). Walau begitu, kita tetap melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik. Karena sudah ada sistem yang diatur. Jadi tanpa ada kepala sekolah kita sudah bisa jalan,” ucap guru yang tak mau disebutkan namanya ini.
sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=73&date=2016-08-04