JAKARTA — Dirjen Kelembagaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Patdono Suwignjo mengatakan, berdasarkan data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) terakhir, jumlah perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 4.529. Dibandingkan dengan perguruan tinggi di Eropa, jumlahnya baik perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta tak ada separuhnya dari angka tersebut.
“Kita boleh berbangga dalam jumlah tapi tidak dengan soal mutu. Jumlah perguruan tinggi di Indonesia terlalu banyak tetapi indeks daya saing pekerja kita jauh di bawah Malaysia,” katanya, Jumat (31/3). Di Korea Selatan tiap 1.000 orang, sebanyak 984 lulusan perguruan tinggi. Sedangkan di Indonesia, dari 1.000 orang hanya 315 lulusan perguruan tinggi.
Kalau membandingkan dengan Cina, terang Patdono, Cina jumlah penduduknya 1,4 miliar, Indonesia 255 juta. Jumlah perguruan tinggi di Cina hanya 2.824 sedangkan di Indonesia 4.529. “Jumlah perguruan tinggi kita dua kali lipat dari yang dimiliki Cina padahal penduduk kita hanya seperlima dari penduduk Cina. Jadi kalau saya hitung jumlah perguruan tinggi per kepala, kita 10 kali lebih banyak dibanding dengan Cina, jumlah perguruan tinggi kita terlalu banyak.”
Maka kebijakan Dikti sekarang tidak menambah perguruan tinggi baru, kecuali vokasi maupun institut teknologi. Bisa disebut terlalu banyak perguruan tinggi yang mengajarkan ‘omong-omongan’ tapi tidak banyak yang mengajarkan bagaimana melakukan pekerjaan dengan baik atau kompetensi.
Di negara maju seperti Austria jumlah mahasiswa vokasinya 78 persen, sedangkan 22 persen mahasiswa akademik. Di Indonesia, jumlah mahasiswa akademiknya 88 persen, dan 12 persen saja mahasiswa vokasi. Dari 12 persen itu yang STEM hanya 6 persen.
Maka industri Indonesia jika berharap banyak dari lulusan yang tidak kompeten bisa terancam mengalami kemunduran. Jadi untuk menyeimbangkan lulusan vokasi dengan akademik, kita masih membutuhkan waktu sekitar 200 tahun.
Potret pendidikan masih memprihatinkan dan jadi PR berat. Namun di tengah keprihatinan itu ada perguruan tinggi yang berkelas internasional. “Kebijakannya ke depan kita perlu mengurangi perguruan tinggi, artinya tidak menutup namun memberi saran kepada perguruan tinggi ‘gurem’ untuk merger dengan perguruan tinggi yang mampu,” kata Patdono.
Bila merger, Kemenristek Dikti akan memberikan insentif. Ada lagi peringanan persyaratan, dan kebijakan akuisisi perguruan tinggi.
Rektor Universitas Prasetya Mulya Profesor Djisman Simanjuntak mengatakan, tantangan Indonesia saat ini bisa digambarkan dengan bahasa sederhana yakni keluar dari perangkap kesedangan. Kita sudah bergumul di situ puluhan tahun tapi tidak bisa tembus. “Satu persatu tetangga kita melewati kita, Cina sudah melewati kita jauh di depan. Sekarang Vietnam juga dalam proses melewati kita, dan kalau kita tidak bangun-bangun, Kamboja pun akan melewati kita.”
Kamboja, ujar Djisman, tumbuh 7 persen per tahun. Indonesia tumbuh 4 persen per tahun. “Tinggal hitung berapa tahun diperlukan sampai Kamboja melewati kita. Jadi tantangan Indonesia adalah keluar dari perangkap kesedangan.”
Untuk meningkatkan daya saing maka pendidikan tinggi yang akan datang harus internasional. “Kami sangat menyambut upaya pemerintah kita menginternasionalisasi pendidikan di Indonesia.”
Pendidikan abad 21, lanjutnya, juga penting bila berjiwa kewirausahaan. Sebab salah satu tanggung jawab perguruan tinggi abad 21 adalah katalisasi bisnis, perintisan usaha.
Sumber : Republika