Kepala Badan Standar Kurikulum, Asesmen, dan Perbukuan (BSKAP), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anindito Aditomo mengunjungi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) di Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Jumat (14/1). Yayasan ini adalah salah satu lembaga pendidikan yang telah menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila dengan baik sejak lama. Kerja sama lintas budaya dan agama yang dikelola yayasan ini selama bertahun-tahun baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional menjadi bukti eksistensi sekolah tersebut.
Rombongan BSKAP disambut Anggota Komisi X DPR RI, Sofyan Tan selaku pendiri yayasan. Selain itu juga terdapat kepala sekolah mulai jenjang TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Sebelum meninjau sekolah, rombongan yang terdiri dari Kepala BSKAP, Sekretaris BSKAP, dan staf Kemendikbudristek, melihat proses kedatangan siswa. Para siswa tampak bersemangat memasuki pintu sekolah disambut guru kelasnya masing-masing.
Guna mencegah penularan Covid-19, penerapan protokol kesehatan sudah dilaksanakan dengan baik di sekolah. Memakai masker serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir adalah rutinitas wajib yang dilakukan siswa sebelum masuk ke dalam kelas. Harmoni kebinekaan dalam suasana yang damai terasa ketika memasuki gedung sekolah yang berdiri sejak tahun 1987 di lahan seluas 1.500 meter persegi tersebut.
Di lobi sekolah, terdapat hiasan pohon Mei Hwa (plum blossom) yang merupakan salah satu ornamen wajib pada perayaan Imlek. Uniknya, bunga yang menjadi simbol kemakmuran, kesejahteraan, keberuntungan, dan kebahagiaan ini dibuat secara bergotong royong tidak hanya oleh para siswa dari etnis Tionghoa saja namun melibatkan seluruh siswa dari berbagai latar belakang budaya.
Selanjutnya, rombongan diajak berkeliling melihat proses pembelajaran di dalam maupun di luar kelas yang masih dijalankan secara hibrida (blended learning). Contohnya adalah pelajaran olah raga yang dilakukan sebagian murid di lapangan. Guru yang memimpin pembelajaran tatap muka secara bersamaan juga mengajar melalui daring menggunakan gawai.
Guru bidang studi olah raga, Prima merasa bangga bisa mengajar di sekolah multikultural ini. Ia mengaku para siswa aktif dalam proses pembelajaran sehingga ia pun terpacu untuk terus mengembangkan metode pembelajaran yang menarik. “Saya senang melihat anak-anak dapat berbaur di sini dengan rukun, tidak ada pengelompokkan antarsuku atau apapun. Semoga anak-anak dapat saling menghargai agar ke depannya mereka menjadi panutan di masyarakat,” katanya.
Menyusuri lorong-lorong kelas, terlihat para siswa belajar di kelas secara hibrida dengan penuh antusiasme. Sofyan Tan mengatakan, mereka berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Namun di yayasannya, toleransi dan keadilan diajarkan sedini mungkin secara riil. Inilah falsafah hidup yang menurutnya harus melekat dalam jiwa anak-anak Indonesia. Sejak dini mereka terbiasa untuk hidup di tengah kebinekaan dengan rukun, saling peduli, dan mandiri.
“Niat saya mendirikan sekolah ini utamanya adalah agar anak-anak khususnya yang tidak mampu, dapat mengenyam pendidikan di sekolah bermutu. Karena dengan pendidikanlah mereka bisa keluar dari kemiskinan dan mengangkat martabat keluarganya,” ungkapnya.
Sofyan Tan berkisah, pada awal sekolah ini beroperasi, ia harus mengetuk satu per satu pintu rumah warga yang tidak mampu agar para orang tua mau menyekolahkan anak-anak mereka tanpa memikirkan biaya. Banyak yang meragukan langkah berani yang ia lakukan kala itu, karena tidak mudah untuk menerobos stigma negatif masyarakat. Termasuk sumber daya yang masih minim menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan mimpinya.
“Tidak hanya mengizinkan anak-anak miskin bersekolah di tempat saya, malah sering kali dulu saya malah memberi mereka uang untuk kebutuhan sehari-hari,” ucapnya mengenang kesulitan yang dihadapi masyarakat di sekitarnya kala itu.
Sofyan Tan muda bermimpi bahwa lewat pendidikan tak hanya garis kemiskinan yang bisa diputus melainkan juga konflik yang menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dapat dicegah. “Saya dulu berpikir, kalau perbedaan (keragaman) ini tidak ada solusinya maka akan menjadi “api dalam sekam”,” ucapnya mengistilahkan. Ia yakin, umat manusia yang diciptakan berbeda-beda bisa hidup berdampingan dengan damai, apabila mereka terdidik dengan baik.
Di ujung lorong kelas, rombongan dibuat takjub dengan fasilitas lengkap yang ada di sekolah. Tempat ibadah bagi umat beragama Islam, Hindu, Budha, Katolik dan Kristen, dan Konghucu dibangun berdampingan. “Sering kali, jika sudah tiba waktunya beribadah, antarsesama anak-anak saling mengingatkan temannya meski mereka berbeda agama. Bahkan ada anak yang ketika ingin bermain dengan salah satu teman yang beragama lain namun temannya itu sedang beribadah maka anak tadi menunggu dengan sabar,” tutur Kepala SD, Vina yang menjabat sebagai kepala sekolah sejak tahun 2007.
Vina berharap, nilai-nilai positif di sekolah yang ditanamkan sejak dini dapat terus diimplementasikan seluruh lulusan saat terjun ke masyarakat. Kelak, dengan pemahaman yang baik mengenai nilai-nilai toleransi dan keadilan, para siswa bisa memberi harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. “Kami ingin menciptakan generasi muda yang tak hanya sukses namun juga berkarakter mulia,” tegas Vina yang lulus dari SMK Sultan Iskandar Muda pada 2001 dan kini telah menuntaskan Pendidikan S2-nya dengan subsidi dari yayasan.
Sejak YPSIM berdiri, yayasan ini telah memfasilitasi layanan pendidikan kepada 5.383 siswa. Untuk tahun pelajaran 2021-2022, jumlah siswa mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK sebanyak 3.400 orang. Sedangkan, siswa anak asuh yang saat ini sedang belajar ada 478 orang dan siswa yang mendapat pengurangan uang sekolah berjumlah 1.300 orang. Untuk menjaga keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu, sekolah menerapkan sistem pola asuh silang berantai. Mantan anak asuh yang telah sukses diharapkan bisa menjadi orang tua asuh bagi adik-adik di sekolahnya. Siswa yang berhasil masuk kuliah di PTN, disediakan program Sofyan Tan Scholarship.
Rombongan dibuat kagum dengan fasilitas lain, yakni Aula Bung Karno. Fasilitas yang setara dengan gedung bioskop berlantai lima ini begitu nyaman untuk digunakan menonton film maupun menyaksikan penampilan para siswa. Sofyan Tan menunjukkan bahwa aula tersebut dapat diwujudkan berkat kerja sama yayasan dengan berbagai lembaga, BUMN, maupun pengusaha swasta. “Semua sumber daya yang kami miliki, seluruhnya untuk anak-anak dan para pendidik di sekolah ini. Sepersen pun tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi,” tekannya.
Fiorenza Clarice salah satu siswa mengaku senang bersekolah di SD Sultan Iskandar Muda karena fasilitasnya lengkap. ”Sangat menyenangkan,” ucapnya. Salah satu orang tua siswa bernama Dea mengaku tertarik untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut karena nilai-nilai kedisiplinan, toleransi, dan kemandirian yang diajarkan dengan baik. “Anak saya sekarang sudah kelas lima. Selama lima tahun bersekolah sekarang dia begitu disiplin, guru-gurunya bisa mengarahkan anak-anak sehingga pembelajaran di masa pandemi ini tetap berjalan tertib dan aman,” tuturnya.
Sebelum meninggalkan kompleks yayasan, Anindito menyampaikan apresiasi atas upaya Sofyan Tan. Menurutnya, YPSIM telah berhasil menjalankan konsep Profil Pelajar Pancasila sejak bertahun-tahun secara berkesinambungan. “Seluruh nilai Pancasila sudah dipraktekkan lebih dahulu di sini. Terima kasih atas kontribusinya yang luar biasa bagi dunia pendidikan,” katanya.
Anindito optimistis bahwa pembangunan dunia pendidikan di Indonesia akan terakselerasi lebih cepat dengan gotong royong semua insan pendidikan di berbagai lintas sektor. Oleh karena itu, ia mendorong agar praktik baik di YPSIM dapat berlangsung di masyarakat secara masif, berkelanjutan dan kian inovatif demi mewujudkan SDM unggul yang berkarakter pancasilais.
Pelajar Pancasila sendiri adalah perwujudan pelajar Indonesia yang memiliki semangat belajar sepanjang hayat, memiliki kompetensi global, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Enam ciri utamanya, yaitu: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Kepala BSKAP juga sepakat dengan Sofyan Tan bahwa kesenjangan pendidikan dan ekonomi dapat menjadi ‘bom waktu’ yang akan mempengaruhi lingkup sosial dan politik. Oleh karena itu, kurikulum dan program Merdeka Belajar secara sistemik dirancang sebagai prioritas dalam menangani krisis pembelajaran. “Merdeka Belajar diadakan untuk memastikan agar keragaman yang ada di Indonesia tidak menjadi masalah di kemudian hari. Kurikulum memiliki kekuatan besar untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kesenjangan itu,” pungkasnya.
Sumber : kemendikbud.go.id