Minim Kampus Akreditasi A, Diduga Ini Sebabnya


dosen-yang-sedang-mengajar-para-mahasiswa-ilustrasi-_131002185802-539
Dosen yang sedang mengajar para mahasiswa (ilustrasi).

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko menilai, human error menjadi alasan kuat banyaknya perguruan tinggi yang tidak terakreditasi A. Artinya, kesalahan sering terjadi pada pengelola dan sistem akademik di setiap perguruan tinggi.

“Mestinya ada peringatan dini setahun sebelum habis akreditasi. Di persiapkan untuk akreditasi selanjutnya, tapi karena akteditasi umurnya 5 tahun, dan masa jabatan rektor dan ketua prodi hanya 4 tahun, di sanalah masalahnya,” kata Budi kepada Republika.co.id, Senin (5/3).

Budi mengatakan, pergantian kepemimpinan biasanya memiliki pengaruh cukup signifikan pada proses persiapan penilaian akreditasi. Sering kali, sinkronisasi antara pejabat baru dan lama tidak berjalan dengan baik.

“Saat pejabat baru memimpin, biasanya baru berjalan selama 1 atau 2 tahun, akreditasi kan habis dan dia tidak punya pengalaman lalu ia buat sendiri tanpa tim. Ini problem,” kata dia.

Selain itu, menurut Budi, di beberapa perguruan tinggi seringkali ada keterlambatan penilaian langsung dari Badan Akreditasi Nasional- Perguruan Tinggi (BAN-PT). Padahal, berkas dan syarat administrasi sudah terpenuhi.

“Setelah sekian lama menunggu visit dari BAN-PT, belum juga datang. Terlanjur sudah keluar jadwal wisuda, kan itu dilema lagi buat perguruan tinggi itu,” kata Budi.

Tercatat, dari sekitar 4.504 perguruan tinggi di Indonesia, hingga akhir tahun 2017 lalu hanya 65 PT yang terakreditasi A. Artinya, sekitar 4.400 PT di Indonesia hanya berakreditasi B, dan lainnya.

Sumber: Republika.co.id