Paradoks Akreditasi Perguruan Tinggi


PARA ketua program studi, dosen penanggung jawab akreditasi, serta rektor di banyak perguruan tinggi (PT) sedang dilanda keresahan. Akreditasi berbasis sembilan kriteria di ambang pintu untuk digulirkan pada awal Januari 2020.

Berbeda dengan penekanan akreditasi sebelumnya yang fokus pada proses pendidikan, pola akreditasi baru itu menekankan luaran kinerja (outcome based accreditation). Dengan bobot cukup besar pada aspek persentase lulusan tepat waktu, masa tunggu kerja, relevansi pekerjaan dengan keilmuan lulusan, jumlah publikasi, pengabdian kepada masyarakat, dan sitasi luaran ilmiah. Untuk bidang kesehatan, ditekankan pula pada persentase anak didik lulus uji kompetensi.

Di sisi lain, terkait dengan borang petunjuk untuk semua rumpun program studi, belum semua final tersedia untuk diacu. Rupanya, Badan Akreditasi Nasional (BAN) atau lembaga akreditasi mandiri (LAM) PT belum tuntas melakukan finalisasi borang acuan. Ironisnya, waktu yang tersisa hanya tinggal satu bulan.

Sebagai pihak yang pernah menyusun borang akreditasi sebanyak lima kali dalam enam tahun, kami sangat berempati dan bersimpati atas tekanan psikologis para penanggung jawab akreditasi tersebut. Ringkasnya, masih banyak di antara mereka yang buta dengan acuan itu. Paradoksnya, untuk menyusun data akreditasi yang layak, dibutuhkan data kinerja minimal tiga tahun.

Secara praksis, keresahan para pengelola perguruan tinggi terkait dengan perihal lulusan dari program studi (prodi) dengan peringkat setara B dan A saja yang dianggap layak untuk melamar pekerjaan formal atau lowongan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Sehingga cukup banyak lulusan prodi tidak terakreditasi yang akhirnya bekerja di pekerjaan nonformal. Secara legal, berdasar pasal 28 Peraturan Menristekdikti Nomor 100 Tahun 2016, ada pelarangan suatu prodi tidak terakreditasi meluluskan anak didiknya. Ironisnya, selain kecukupan kinerja mencemaskan, belum semua naskah acuan akreditasi baru itu final disusun dan disosialisasikan.

Hal itu terjadi di salah satu rumpun ilmu kesehatan. Dengan belum finalnya deskripsi atau borang acuan akreditasi pada semua rumpun ilmu, bahkan hingga September, terdapat acuan yang belum bisa diakses masyarakat perguruan tinggi. Maka, tidak fair jika akreditasi pola baru itu tergesa-gesa diterapkan. Seharusnya naskah acuan akreditasi dan sosialisasi telah matang dan final tiga tahun lalu.

Kebijakan Bermasalah

Kebijakan akreditasi baru itu tampak kurang presisi, akomodatif, dan partisipatif dari publik pendidikan tinggi. Regulasi tentang modal pendirian prodi yang minimalis dengan tuntutan luaran bermutu tinggi menempatkan banyak prodi dan perguruan tinggi dalam posisi sulit. Hal paling kritis, terjadi kebijakan penurunan kualitas dosen pada periode 2014–2019.

Dengan Peraturan Menristekdikti Nomor 44 Tahun 2015, disyaratkan jumlah dosen minimal enam orang dengan gelar S-2. Bahkan, syarat itu diturunkan dengan Peraturan Menristekdikti Nomor 20 Tahun 2018, menjadi lima dosen dengan dua di antaranya boleh berstatus tidak tetap, menyebabkan kesiapan banyak prodi dan perguruan tinggi dalam menyediakan data kinerja minimal tiga tahun kinerja sulit tercapai.

Hal itu disebabkan jumlah dosen yang terbatas dan mayoritas masih bergelar S-2. Beban layanan tradisional, yakni mengajar, praktikum, dan pembimbingan skripsi, sudah memakan porsi energi dan waktu besar pada level proses tengah. Sedangkan aspek mutu luaran ilmiah penelitian dan publikasi serta pengabdian kepada masyarakat adalah advanced standard. Dikhawatirkan, pada aspek sitasi penelitian akan terjadi fenomena pragmatis pengutipan karya sendiri atau pada komunitas internal.

Tampaknya hanya PTN besar yang paling siap dengan tuntutan akreditasi baru itu, mengingat tradisi riset institusi tersebut ditopang dengan baik oleh para mahasiswa pascasarjana. Ironisnya, scientific vision prodi menjadi penekanan pada aspek output akreditasi baru itu, tidak ditopang regulasi input yang ketat dan layak. Jumlah dan mutu dosen adalah nyawa suatu prodi.

Yang menarik, tetangga kita Thailand memasyarakatkan 50 persen dosen bergelar S-3 sebagai syarat pendirian prodi. Dengan begitu, visi ilmiah dapat ditopang lebih kuat dan cepat dikembangkan. Itulah sebabnya perguruan tinggi di Thailand lebih baik dan berdaya saing global jauh meninggalkan Indonesia.

Dari sisi alam dan lingkungan, akreditasi baru belum eco-friendly. Penilaian akreditasi belum menyasar pengelolaan lingkungan, penanganan limbah, sampah cair/padat, rokok, minuman bersoda, dan plastik dampak dari aktivitas pendidikan tinggi sebagai isu penting.

Gejala itu seharusnya menjadi titik balik dan reflektif mendalam untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai salah satu motor pembentukan karakter sivitas akademika yang menjaga kelestarian lingkungan, dimulai dari lingkungan program studi dan kampus melalui kriteria akreditasi yang holistik. Ironisnya, standar akreditasi internasional ASIIN, AUN-QA, ASIC, dan lain-lain menjadikan mutu kesehatan lingkungan sebagai parameter penting penilaian.

Perlu Kearifan

Universitas dan program studi adalah institusi formal tertinggi untuk menghasilkan sumber daya unggul, pengembangan keilmuan, dan penyemai kebijaksanaan (wisdom). Sebagai masyarakat dunia, perguruan tinggi Indonesia juga diharapkan mampu menghasilkan luaran yang berdaya saing internasional. Maka, lembaga perguruan tinggi dan prodi di dalamnya harus didirikan dengan fondasi-fondasi yang tidak minimalis agar mampu menopang tuntutan berdaya saing dan produk ilmiah yang bermutu baik.

Karena itu, lebih baik pemerintah Indonesia menunda penerapan akreditasi sembilan kriteria tersebut, perlu merevisi ulang kebijakan hulu dalam perizinan perguruan tinggi. Badan akreditasi perlu menyelesaikan petunjuk akreditasi secara final dan matang, tidak merevisi bergelombang lalu menerapkan asesmen setelah tiga tahun ke depan. Agar kinerja perguruan tinggi matang, diperlakukan berkeadilan, logis, dan mengikuti ritme kinerja ilmiah dan humanistis.

Sumber: Jawapos.com