Pelajar NU Berharap Pemerintah Perhatikan Pendidikan di Pulau Terpencil


001

Perwakilan pengurus Pimpinan Cabang IPNU Banyuwangi mengadakan aksi literasi dan pelatihan sablon di sekolah seberang pulau, tepatnya di SMP dan SMA Darus Salam, Tanjung Kiaok, Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Mereka berangkat menaiki kapal perintis Sabuk Nusantara 56 mulai pelabuhan Tanjung Wangi, Ketapang, hingga Pulau Sapeken. Selepas dari Pulau Sapeken, mereka menuju Pulau Tanjuk Kiaok menggunakan taksi perahu. Sesampai di sana, 228 murid dan santri di sana menyambut mereka dengan antusias.

Bagus Syafaat, salah satu anggota PC IPNU Banyuwangi yang turut dalam rombongan itu mengatakan, di Tanjung Kiaok pihaknya menjadi relawan literasi baca dan tulis serta pelatihan sablon.

Mereka di sana dari tanggal 23 hingga 26 Januari. Setiap pagi sampai siang mereka yang beranggotakan lima orang, mengajar di SMP dan SMA Darus Salam. “Di sana kita membantu mengajar guru-guru kelas yang ada di sana. Seperti Aqidah Akhlaq, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Bahasa Indonesia, dan Matematika,” tambahnya.

Usai melaksanakan shalat dhuhur berjamaah, kata Bagus, mereka dibekali ilmu tentang penyablonan. Pelatihan ini dinilai penting untuk melatih kreativitas dan keterampilan para pelajar.

Barulah sore hari, mereka mengadakan aksi literasi. “Di sana kami membawa ratusan buku bacaan untuk gelar aksi baca buku bersama sambil menunggu matahari terbenam,” tambah Bagus.

Di pulau ini ia merasakan keprihatinan yang selama ini berbeda dari kondisi perkotaan. “Bisa dibayangkan mereka yang belajar di sini (Tanjung Kiaok) kekurangan tenaga pengajar, buku bacaan, listrik, sinyal,dan fasilitas pendidikan pendukung lainnya,” tutur Bagus, Sabtu (28/1), saat ditemui di Perumahan Bukit Asri, Genteng, Banyuwangi.

Ia berharap kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan pemerintah daerah Sumenep agar lebih peduli lagi akan nasib pendidikan di Pulau Tanjung Kiaok. “Karena miris, kebanyakan potret kehidupan budaya anak-anak di sini menjadi korban perkawinan dini, dan pekerja dini sebagai nelayan. Yang itu semua idealnya mereka masih menempuh pendidikan formal sampai 12 tahun. Miris sekali !” tutup Bagus.

Sumber : Nu