Pencegahan Kekerasan Seksual Jadi Topik Rakernas Forum Pimpinan Perguruan Tinggi


Topik pencegahan kekerasan seksual menjadi salah satu pembahasan dalam rapat kerja nasional (Rakernas) Forum Pimpinan Perguruan Tinggi bidang Kemahasiswaan (Forpimawa) 2022. Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Chatarina Girsang, yang menjadi pembicara dalam forum tersebut menjelaskan mengenai penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi di hadapan 120 perwakilan universitas dan politeknik negeri dan swasta, di Lombok, Jumat, (1/4).

Pencegahan kekerasan seksual yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021. Permendikbudristek tersebut diluncurkan pada Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual. Peraturan yang diluncurkan pada awal September 2021 silam ini menjadi payung bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Dalam kesempatan tersebut, Chatarina menyampaikan, wakil rektor bidang kemahasiswaan memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tinggi. Oleh karenanya, ia menyambut baik forum ini sebagai wadah komunikasi dan koordinasi serta membangun pemahaman bersama antar perguruan tinggi. “Saya menyambut baik dan mengapresiasi setinggi-tingginya kegiatan ini sebagai media untuk membangun pemahaman bersama seluruh wakil rektor bidang kemahasiswaan dalam mengimplementasikan program Kampus Merdeka yang dapat memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan pendidikan yang utama yaitu mahasiswa kita pada setiap kampus,” ujarnya.

Chatarina menekankan bahwa pencegahan kekerasan seksual sama pentingnya dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka lainnya. Kekerasan seksual, kata dia, adalah salah satu dari bentuk tiga dosa besar selain perundungan dan intoleransi, yang masih merupakan ancaman bagi mahasiswa dan warga kampus lainnya.  Ia melanjutkan, kekerasan seksual juga menghambat tujuan pencapaian seluruh program Kampus Merdeka. Dan bagi penyintas, setiap tindakan kekerasan seksual memiliki efek ganda yang mempengaruhi hidup mereka.

“Setiap tindakan kekerasan seksual menimbulkan luka dalam yang bertahan lama bagi penyintas kekerasan seksual yaitu gangguan kecemasan, depresi, trauma psikologis, dorongan untuk melukai diri sendiri, penyakit yang berakibat pada reproduksi, atau bentuk infeksi menular lainnya. Kekerasan seksual pada jenjang manapun dapat menurunkan tingkat partisipasi sekolah, mengganggu pencapaian belajar dan meningkatkan angka putus sekolah,” tuturnya.

Kehadiran Permendikbudristek nomor 30 Tahun 2021, lanjut Chatarina, bukan tanpa alasan. Sejumlah kasus kekerasan seksual mencuat ke publik di berbagai universitas setelah dipendam dalam waktu yang cukup lama. Hasil penelitian Komisi Nasional Perempuan dari tahun 2015-2020 menyampaikan bahwa 27 persen aduan mengenai kekerasan seksual terjadi di tingkat perguruan tinggi. Hasil lain dari survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) menyampaikan bahwa 77 persen dosen mengetahui bahwa kekerasan seksual terjadi di kampus, dan 63 persen di antaranya tidak melaporkan kasus tersebut.