Rapor Merah Serikat Guru untuk Kemendikbud Selama 2017


Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo (kanan) dan Wasekjen FSGI/Ketua Umum SEGI Jakarta Satriawan Salim (kiri) dalam sebuah diskusi catatan akhir tahun pendidikan sepanjang 2017, di LBH Jakarta, Selasa (26/12/2017).

Setidaknya ada 6 hal yang menjadi catatan kritis Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) terkait kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya di bidang pendidikan.

Sekjen FSGI Heru Purnomo, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (27/12/2017), menyebutnya sebagai rapor merah Kemendikbud tahun 2017.

Keenam hal itu adalah pertama, sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang langsung diterapkan 100 persen di seluruh Indonesia.

Kedua, soal kebijakan lima hari sekolah atau yang lebih dikenal dengan istilah “full day school”.

Ketiga, masifnya kekerasan di dunia pendidikan, baik yang dilakukan sesama siswa maupun yang dilakukan guru.

Keempat, buku pelajaran yang menuai kontroversi. Kelima, pemahaman literasi. Keenam, Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang penyalurannya terus bermasalah.

Selain catatan kritis itu, FSGI juga menyampaikan rekomendasi untuk pemerintah.

Pertama, pemerintah diminta melakukan pemetaan yang utuh, valid dan komprehensif terkait jumlah terkait pembagian zonasi.

Sehingga, kecamatan yang tak memiliki sekolah negeri mendapatkan akses yang sama untuk bersekolah di negeri.

Kedua, pemerintah harus mengevaluasi sistem penilaian berbasis PPK dalam Kurikulum 2013. Karena kurangnya sosialisasi, waktu yang mepet menginput nilai dan banyaknya indikator untuk mengukur sikap spiritual dan sosial, sehingga penilaian terkesan asal-asalan dan kurang valid.

Ketiga, guru harus diberi pelatihan cara mencegah dan menangani kekerasan di sekolah. Heru mengatakan, banyak guru dan kepala sekolah gagap dalam menghadapi kekerasan di sekolah.

Keempat, pemerintah harus memberdayakan Pusat Kurikulum dan Perbukuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengontrol buku-buku pelajaran agar berkualitas. Agar tidak ada lagi kasus buku yang mengandung konten kekerasan, pornografi, dan radikalisasi.

Kelima, program literasi harus diperkaya dengan pelatihan pengelolaan kelas literasi bagi guru sehingga guru-guru dapat menerapkannya di kelas dan sekolah.

Guru harus difasilitasi pemerintah terkait buku-buku berkualitas agar dapat mendorong budaya baca dan literasi di kalangan guru sehingga mendorong budaya baca para siswa.

Terakhir, yang keenam, pemerintah harus belajar dari kebijakannya agar tidak merugikan guru. Kebijakan pemerintah harus dipikirkan matang terutama terkait sinkronisasi data antar direktorat (Dirjen GTK) dan (Dikmen).

“Sehingga kasus ratusan guru SMK yang tidak cair tunjangan profesinya selama beberapa bulan karena perubahan kode mata pelajaran, tidak terulang tahun lagi,” kata Heru.

Sumber: kompas.com