Resah Guru Rote dalam Jerat Sistem Pendidikan Indonesia


2
Pendidikan di Indonesia terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Setidaknya, sudah 10 kali anak bangsa ini beradaptasi dengan sistem pendidikan yang berganti. Belum lama sejak kontroversi perubahan Kurikulum 2013 –yang akrab disebut K-13, kini dunia pendidikan kembali riuh oleh rencana baru yang kabarnya segera diimplementasikan.
“Kami rencanakan (8 jam di sekolah dalam sehari) mulai berlaku Juli. Sabtu-Minggu libur, bisa digunakan untuk kumpul bersama keluarga dan berwisata,” kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sumarna Surapranatayang, di Makassar, Sulawesi Selatan, awal Juni, seperti dilansir Antara.
Terlepas dari soal 8 jam bersekolah itu, sebelumnya pada kasus perubahan kurikulum pun, guru dan murid dibuat gamang. Tahun ajaran 2015/2016, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 diubah menjadi Kurikulum 2013. Tapi, kala itu implementasi K-13 hanya berlangsung selama satu semester karena ketidaksiapan fasilitas dan tenaga didik.
Saat itu, anak yang masuk SMA merasakan betul perubahan drastis dari KTSP menjadi K-13, dari kurikulum yang indikator penilaiannya semula berdasarkan kemampuan dan pengetahuan, lalu berubah menjadi berbasis karakter siswa.
Pada dasarnya, perubahan ini bertujuan baik, yakni untuk menumbuhkembangkan karakter siswa agar lebih aktif di kelas.
Sayangnya, pengembangan K-13 tak diiringi dengan persiapan kompetensi guru yang sesuai dengan kurikulum baru itu.
Anton Johannis, Kepala Sekolah SD Inpres Onatali, Rote Tengah, Nusa Tenggara Timur, mengatakan bahwa sistem pendidikan, termasuk kurikulum yang begitu cepat berubah, memang jadi tantangan tersendiri.
SD Inpres Onatali yang dipimpin Johannis saat ini masih menggunakan dua kurikulum. Ini karena satu angkatan sempat menggunakan sistem K-13, namun angkatan berikutnya diganti lagi ke KTSP.
Perubahan kurikulum terjadi sedikitnya 10 kali sejak Orde Lama hingga era Reformasi kini. Selain murid, guru menjadi pihak pertama yang mesti menyesuaikan diri dengan tergopoh-gopoh.
Johannis yang telah menjadi guru sejak 1991 pun turut merasakan dinamika perubahan kurikulum pendidikan Indonesia, mulai dari tahun 1974 hingga K-13.
Satu hal yang jelas tiap terjadi pergantian kurikulum, terutama di daerah-daerah: tenaga pendidik bak tergesa-gesar “berlari” mengejar materi dan beradaptasi.
Jauh di Rote Barat Daya, Abdul Hamid, seorang tenaga pendidik yang masuk dalam program Guru Garis Depan dan kini mengajar di SMP 4 Rote Barat Daya, mengeluhkan perubahan kebijakan pendidikan yang begitu cepat dan kurang matang, hingga akhirnya memberatkan tenaga pendidik.
Hamid misalnya pernah dirugikan oleh perubahan kurikulum KTSP ke K-13, kemudian ke KTSP lagi. Saat Hamid mencetak ulang modul –yang sesungguhnya semula disiapkan untuk KTSP– menjadi sesuai dengan K-13, ternyata kurikulum dikembalikan ke KTSP.
Sungguh terlalu.
Bolak-balik KTSP ke K-13 lalu ke KTSP lagi terjadi akibat ketidaksiapan pemerintah dalam menyiapkan kompetensi guru, buku, hingga fasilitas penunjang lain yang diperlukan.
“Waktu itu sekolah saya masih baru, sehingga modul pun harus menyiapkan sendiri. Saat modul yang sesuai K-13 sudah siap, ternyata kurikulumnya kembali ke KTSP. Sekolah kan jadi rugi,” kata Hamid kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (15/6).
Selain itu, ketika sekolah harus menerapkan sistem K-13 yang menuntut tenaga pendidik mampu menjadi fasilitator, nyatanya masih banyak guru yang belum punya kompetensi mendasar untuk mengajar ala K-13, sehingga proses belajar-mengajar berjalan tak sesuai sasaran yang ingin dicapai.
Itu baru soal kualitas. Ketika berbicara tentang kuantitas tenaga pendidik, jumlah guru yang tersebar di seluruh Indonesia pun masih tak merata. Tak jarang, begitu banyak sekolah di daerah-daerah –Rote salah satunya– yang harus merasakan ketimpangan jumlah tenaga pendidik-anak didik yang begitu besar.
Kondisi tersebut dialami pula oleh Hamid –yang kini menjadi 1 dari 14 guru SMP yang tiap hari harus menjaga setidaknya 250 murid.
“Total guru di sini ada 14 orang. Sementara muridnya tahun ini bisa mencapai 250 anak,” kata Hamid.
Selagi 14 guru tersebut dituntut untuk mampu beradaptasi dengan cepat, mengejar materi hingga tuntas, mereka pun diharuskan mampu mendidik 250 anak didik di tengah sarana-prasarana yang tak mendukung, termasuk ruang kelas.
Tak hanya Hamid, kekalutan akibat perubahan sistem juga dirasa Johannis sang kepala sekolah. Menurutnya, perubahan kurikulum akan berjalan baik bila tenaga pendidik turut dikembangkan sesuai kebutuhan sistem baru.
Masalahnya (lagi), pengembangan kompetensi tenaga pendidik tersebut tak merata hingga ke daerah-daerah. Belum lagi konteks sosial yang kerap berbeda antardaerah dan tak terakomodasi dalam perubahan kurikulum.
“Kalau di desa situasinya cukup sulit karena jangkauan media sulit. Di sini (Rote), kendalanya memang ada pada guru. Di tengah masyarakat, mereka (para guru) biasanya memiliki kegiatan luar sekolah yang tak kalah banyak. Misalnya, menjadi ketua kelompok masyarakat, anggota persekutuan. Karena, kalau di desa kan aktivitas sosial lebih diutamakan. Sehingga adaptasi dan pengembangan kompetensi sebagai pendidik pun tak bisa diakses secepat guru di kota,” kata Johannis panjang lebar.
Setelah perubahan KTSP ke K-13 yang sudah cukup membingungkan bagi mereka, kini ada pula rencana pengimplementasian aturan 8 jam di sekolah, membuat dada para guru itu makin berdebar dan kepala kian penat.
Aturan 8 jam di sekolah tersebut, menurut Johannis dan Hamid yang sama-sama mengajar di Rote, tak bisa diimplementasikan di sekolah mereka. Setidaknya untuk saat ini.
“Menurut saya, 8 jam sehari di sekolah bisa diterapkan asal sarana-prasarana-infrastrukturnya mendukung. Masalahnya, di sekolah saya saja sekarang ruang kelas masih harus bergantian karena jumlah murid begitu banyak. Belum ada listrik juga di sini. Bagaimana bisa menjalankan aturan 8 jam sehari kalau sarana untuk menyampaikan materi pun tidak siap?” keluh Hamid.
Belum lagi konteks geografis hingga sosial di masyarakat Rote–yang mungkin belum terpikir oleh penggagas aturan 8 jam di sekolah.
Hamid mengatakan, anak-anak didiknya harus berjalan kaki menempuh jarak 5-7 km untuk tiba di sekolah. Lantas, kalau aturan 8 jam di sekolah harus diterapkan, pukul berapa anak-anak itu harus berangkat dan pulang sekolah?
“Dari segi fisik, tentu sangat berat bagi siswa. Mereka biasa berangkat jam 5 pagi masih gelap, kemudian pulangnya sampai rumah bisa sudah gelap (bila aturan 8 jam diterapkan),” kata Hamid.
Johannis mengatakan, aturan 8 jam sekolah belum bisa diimplementasikan di Rote karena belum sesuai dengan variabel sosial hingga geografis daerah. Tenaga pendidik pun belum sepenuhnya khatam kurikulum yang berjalan sebelumnya.
“Adaptasi dengan KTSP dan K-13 pun belum sepenuhnya tuntas, ditambah lagi dengan aturan 8 jam di sekolah. Perlu ada penyesuaian dengan karakter siswa dan alam di sini,” kata Johannis.
Mendengar kisah dan resah hati para guru Rote, berikut perjuangan murid-murid mereka menuju ke sekolah –yang bahkan tanpa listrik, menimbulkan pertanyaan besar di benak:
untuk siapa pendidikan di Indonesia?