Saat Ini Membangun Bidang Pendidikan dan Kesehatan Masih Bersifat Sektoral


fdg_20180303_184142
Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema ATHG DARI DALAM NEGERI (Sumber Daya Manusia). Hadir sebagai narasumber dalam DPS Seri ke-10 ini, adalah: Dr. Bambang Pharma Setiawan, Prof.Dr. Hasbullah Thabrany, MpH. PH, Dr. Pattiselanno Roberth Johan , MARS. Selain itu hadir pula Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS di Jakarta, Sabtu (3/3/2018).

Nasib sebuah negara tergantung pada sumber daya manusia yang memiliki pendidikan dan kesehatan yang sangat baik.

Sebagai contohnya Jepang dan China yang mengalami masa kemunduran selepas Perang Dunia Kedua dan Revolusi Kebudayaan.

“Berkat perbaikan pendidikan dan kesehatan di negaranya, kedua negara tersebut mampu menunjukkan diri sebagai negara yang berhasil keluar dari kemunduran dan menjadi negara maju di bidang ekonomi, keuangan, dan militer dunia,” kata Pontjo Sutowo, Pembina YSNB saat Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema ATHG DARI DALAM NEGERI (Sumber Daya Manusia) di JCC Jakarta, Sabtu (3/3/2018).

Jika sumber daya manusia Indonesia berdasar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibandingkan negara-negara lain, tidak termasuk dalam ranking yang tertinggi akibatnya total productivity factor (TPF) menjadi menurun dan Indonesia mengalami proses deindustrialisasi.

Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan ini menyatakan jika dalam membangun sumber daya manusia terutama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, tidak seharusnya hanya bersumber pada ketersediaan anggaran belanjanya semata.

Namun perlu adanya relevansi yang diberikan pada bidang pendidikan dan kesehatan ini oleh negara atau pemerintah secara menyeluruh.

“Dan membangun bidang pendidikan dan kesehatan bukan sekedar pembangunan sektoral sebagaimana yang telah dilaksanakan hingga saat ini, namun sebagai bentuk melaksanakan dua dari empat tugas konstitusional Pemerintah Negara,”  kata Pontjo.

Bambang Pharma Setiawan menyatakan jika pendidikan di Indonesia sebagai penopang utama sumber daya manusia, mengalami sindrom bangsa terjajah.

Bahkan pemerintah pernah suatu saat terjebak dengan mendirikan sekolah yang berbau asing dengan nama Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Internasional (SBI).

Sindrom ini menyebabkan ada anggapan orang asing selalu diasumsikan pasti benar dan pintar.

Untuk menghilangkan sindrom hal tersebut, Bambang Pharma Setiawan menyatakan jika bangsa Indonesia perlu menanamkan nilai kebangsaan dan budaya unggul dalam pendidikan bangsa.

“Penanaman nilai kebangsaan dan budaya unggul, akan mampu menanamkan karakter bangsa, sehingga sindrom bangsa terjajah akan segera dihilangkan”, katanya.

Hasbullah Thabrany menyatakan jika sumber daya manusia Indonesia pada saat ini sangat kurang beruntung karena ranking IQ Indonesia berada di urutan no 20 dunia.

Semua itu terjadi karena investasi kesehatan Indonesia sangat rendah dan generasi emas bangsa ditentukan oleh pengaruh gizi dan kesehatan ibu, bayi, serta anaknya.

Di Amerika pemerintah memiliki kebijakan Food Stamp, penduduk miskin, ibu hamil dan anak mendapat kupon makanan, yang dapat diambil di supermarket berupa daging, ayam, ikan, susu, jus dan sebagainya.

“Jerman memberi jaminan sosial keluarga agar semua anak bergizi cukup. Kebijakan ini seharusnya dapat diterapkan di Indonesia agar pemenuhan gizi yang cukup untuk ibu dan anaknya dapat terpenuhi, agar sumber daya manusia dapat menghasilkan generasi emasnya”, katanya.

Menurut Dr. Pattiselanno Roberth Johan , MARS, di Indonesia terjadi perubahan beban penyakit yang menimpa sumber daya manusianya.

Jika pada tahun 1990, penyakit menular seperti ISPA, TB, Diare menjadi sebab kematian dan dan kesakitan terbesar.

Sejak tahun 2010, penyakit tidak menular menjadi penyebab terbesar kematian dan kecacatan, seperti stroke, kecelakaan, jantung, kanker dan diabetes.

Tingginya penyakit tidak menular ini menyebabkan kesehatan mental spiritual sosial sumber daya manusia menjadi terganggu.

Sebagai akibatnya masalah psikososial meningkat. Untuk mengatasi hasil tersebut maka diperlukan pembangunan ketahanan keluarga sebagai masyarakat terkecil serta dengan membangun kecerdasan spiritual.

“Sumber daya manusia yang mampu menghadirkan ketahanan nasional baru akan terwujud jika memiliki kesehatan mental spiritual sosial masyarakat yang diwujudkan melalui keluarga yang berkualitas. Dan untuk mencapainya diperlukan kerjasama menyeluruh antara Pemerintah, Institusi Pendidikan, Lembaga Keagamaan, Keluarga, dan Masyarakat,”  kata Pattiselanno.

Sumber: Tribun News