Jakarta – Belakangan ini ungkapan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” beredar luas di masyarakat, terutama di media sosial. Sejumlah pejabat negara, selebritas, hingga warga masyarakat menggunakan ungkapan tersebut sebagai status pada akun media sosial berdampingan dengan foto diri.
Ungkapan tersebut, khususnya “Saya Pancasila”, ternyata memunculkan pro-kontra. Ada kalangan yang menyebutkan ungkapan yang lebih tepat adalah “Saya Pancasilais”, bukan “Saya Pancasila”.
Sriyanto, pakar bahasa Indonesia dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa) kepada Beritasatu.com, Jumat (2/6), menyatakan bila dilihat dari sudut pandang ilmu tentang bahasa (linguistik), ungkapan yang tepat adalah “Saya Pancasilais”.
“Pancasilais itu berarti ‘penganut ideologi Pancasila’. ‘Saya Pancasilais’ hanya berarti ‘saya penganut ideologi Pancasila’. Tetapi ‘Saya Pancasila’ mengandung banyak arti. Itu bedanya,” katanya.
Ungkapan “Saya Pancasila”, lanjut Sriyanto, hendaknya dipahami sebagai ungkapan yang kreatif, bukan ungkapan yang lugas.
“Itu ungkapan yang kreatif,” katanya.
Dengan satu ungkapan tersebut, lanjutnya, akan menyiratkan banyak makna yang positif. “Saya Pancasila” bisa mengandung makna: saya (cinta) Pancasila; saya (penganut paham) Pancasila; saya (pembela) Pancasila; saya (pejuang nilai-nilai) Pancasila; atau saya (menjadi benteng) Pancasila.
“Di situ letak kehebatannya. Satu ungkapan mengandung sekian makna. Itu hanya ada dalam karya kreatif atau karya satra. Ungkapan kreatif itu mengikuti cara pengungkapan sastra,” ujar Sriyanto.
Senada dengannya, pakar bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia, Untung Yuwono menyatakan sesuai dengan kaidah formal pembentukan kata sifat dalam bahasa Indonesia, ungkapan yang benar adalah “Saya Pancasilais”. Maknanya adalah “Saya bersifat atau berperilaku sesuai dengan Pancasila”.
Sedangkan ungkapan “Saya Pancasila” bisa dipandang sebagai ungkapan metafora yang kira-kira mempersamakan orang Indonesia sebagai Pancasila; meleburkan Pancasila ke dalam diri orang Indonesia sehingga tidak terpisahkan Pancasila dari diri “saya”.
“Pancasila itu ya orang Indonesia. Kalau orang Indonesia itu sudah mengamalkan Pancasila, ya dia melebur dengan Pancasila. ‘Pancasila terefleksikan dari saya’. Kira-kira demikian pemahaman saya untuk mencoba memahami ‘Saya Pancasila’, meskipun memang secara semantis formal hubungan antara ‘saya’ yang insani dan ‘Pancasila’ yang konseptual, tidak berterima,” kata Untung.
Dalam berbahasa, lanjutnya, ungkapan-ungkapan yang secara gramatikal dan semantis tidak pas, pada akhirnya terterima, ketika penggunanya sudah memahami maksud ungkapan tersebut kemudian.
“Kita mungkin pernah heran dengan ungkapan seperti ‘Itu gue banget’ atau ‘Indonesia banget’ yang secara gramatikal tidak lazim, karena pada umumnya nomina dan kata ganti orang dalam bahasa Indonesia tidak dapat disandingkan dengan kata keterangan penyangatan. Namun, ketika kita tahu apa maksud ungkapan itu, semua menjadi biasa. Tentu saja, bahasa yang demikian dikemukakan sebatas sebagai sebuah ungkapan,” ujar Untung.
Sementara itu, dosen filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Iva Ariani menyatakan penggunaan ungkapan “Saya Pancasila” kurang tepat dari sisi bahasa maupun pemaknaan. Kata “Pancasila” seharusnya dibubuhi tambahan is yang berarti penganut ideologi atau pandangan Pancasila.
“Memang penggunaan ‘Saya Pancasila’ atau ‘Saya Pancasilais’ menjadi perdebatan di antara kami dosen filsafat. Yang tepat sesungguhnya, Pancasilais, yang artinya paham Pancasila,” katanya.
Penggabungan dua kata benda, yakni “saya” dan “Pancasila” dalam satu frasa sesungguhnya tidak tepat. Namun, pilihan frasa itu tidak perlu diperdebatkan.
“Slogan itu baik adanya. Mengingatkan kembali bahwa saya-kita adalah bangsa Indonesia. Hidup-mati di Indonesia, dan Pancasila sebagai falsafah, cara pandang, cara hidup dalam memaknai ke-Indonesiaan,” katanya.
Sedangkan menyangkut ungkapan “Saya Indonesia”, lanjut Iva, memang agak berbeda dengan ungkapan “Saya Pancasila”. “Saya Indonesia” menyiratkan nations, kebangsaan, seperti halnya penyebutan American, yang artinya orang Amerika.
“Saya Indonesia tidak soal, tetapi ‘Saya Pancasila’ menjadi sedikit rancu,” katanya.
Bagi Iva, persoalan apakah seseorang sudah Pancasilais atau belum, justru datang dari pandangan pihak ketiga atau orang lain. “Saya lebih cocok kalau pandangan Pancasilais itu dilontarkan orang lain. Maka sesungguhnya, pilihan kata yang pas adalah ‘Saya ber-Pancasila’,” katanya.
Slogan yang ramai-ramai dipakai sebagai status pribadi di media sosial itu, kata Iva, mampu kembali menggugah rasa kebangsaan yang kian luntur. “Sekarang saya lihat, hampir tiap orang menggunakan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasila’, bersamaan dengan hari peringatan lahirnya Pancasila. Hal ini paling tidak bisa mengingatkan kembali jati diri kita sebagai orang Indonesia,” tegasnya.